2.2.10

De ZEVEN PROVIENCIEN

Pernah Anda mendengar Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi atau yang dalam bahasa aslinya Zeven ProvinciĆ«n (baca : Seven Provinsyen)? Peristiwa di atas bumi Nusantara pada masa Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 5 Februari tahun 1933. Pemberontakan yang menjawab keputusan pemerintah mengenai pemotongan gaji itu, disambut lamban Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge (baca : Bonifasius Kornelis de Yong), namun sangat keras dan tegas.


Keputusan pemotongan gaji itu merupakan tindakan pemerintah Belanda di Eropa yang menghadapi Krisis Ekonomi Dunia yang dikenal dengan Great Depression, menyusul gagalnya Politik Etis dari kelompok Kapitalis dunia yang dipimpin Amerika. Peristiwa Kapal tujuh Provinsi adalah peristiwa Gerakan Pemberontakan terhadap pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Gerakan Kapal Tujuh Provinsi tersebut sebenarnya mewakili masyarakat Hindia Belanda yang merasakan kesenjangan kesejahteraan. Kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi hingga ras meningkat, baik pada tataran kehidupan pada dunia pendidikan, kesehatan, bahkan sampai jabatan, pekerjaan dan lain sebagainya.

Kondisi saat itu, menunjukan bahwa, perusahaan-perusahaan di Hindia Belanda mengalami keuntungan besar, lantaran permintaan produksi dari Eropa meningkat. Namun herannya, pendapatan kaum pekerja justeru dipangkas, dengan pajak yang ditingkatkan. Para pemilik perusahaan dan pimpinan pemerintahan kian jaya dan kaya sementara pekerja, pegawai rendahan dan prajurit kian hidup dalam kesengsaraan. Kondisi tanpa keadilan ini bukan hanya dirasa golongan Bumi Putera, namun juga dirasakan orang-orang Cina, orang-orang Arab, orang-orang India bahkan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Pemberontakan itu terjadi di lepas pantai Sumatera pada tanggal 5 sampai 10 Februari 1933. Politik reaksioner Gubernur Jenderal De Jonge, sekalipun lamban, namun cukup efektif dalam penanganannya. Awak kapal de Zeven Provincien yang berkebangsaan Indonesia di bawah pimpinan Paradja, Rumambi, dengan bantuan seorang kelasi Indonesia, Kawilarang, memutuskan mengambil alih kapal. Disamping itu aksi protes kebijakan pemotongan gaji, aksi itu menuntut pembebasan pelaut Indonesia yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah, karena terlibat dalam protes para Serikat Sekerja Pegawai Bawahan di Angkatan Laut.

Gerakana itu tidak diakui oleh Pemerintah india Belanda yang pada akhirnya mengirimkan Armada udara untuk menghancurkan Zeven Provincien. Penghancuran gerakan Kapal Tujuh Provinsi itu menyadarkan Pemerintahan Hindia Belanda akan pengaruh besar Ir. Soekarno, Amir Syarifuddin, Hatta, dan Syahrir yang kemudian ditangkap dan dipenjarakan secara terpisah di pulau-pulau di india Belanda.

Demikianlah De Jonge menggunakan peristiwa Kapal Tujuh Provinsi untuk menangkap kaum ekstrimis yang berpaham Nasionalis Agamis dan Komunis atau mereka yang memimpin PKI, PNI, Partindo, dan Premi. Pemberontakan diatas kapal Zeven Provincien tersebut diatasi dengan cara pemboman kapal tersebut oleh pesawat udara angkatan laut Belanda.konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.