(Sebuah tinjauan Teologis terhadap Perkawinan sebagai tindakan hukum dan Pemberkatan Perkawinan oleh Gereja)
Oleh: Pdt. Arie Arnold Remals Ihalauw
Tulisan ini berawal dari bagaimana belajar dari pengalaman pribadi saya selama 23 tahun berumah tangga maupun membaca peristiwa dari kejadian yang dilansir dari media masa, saya terdorong untuk menuliskan tulisan ini. Saya mengaku bahwa, berbagai masalah dalam perkawinan dan kehidupan keluarga perlu perhatian saat ini ke masa depan.
Kita harus mengakui bahwa, permasalahan dalam masyarakat, kebanyakan akibat kurangnya pendidikan dan pembinaan di keluarga. Kenakalan remaja yang terjadi adalah bukti kemerosotan kualitas mental-spiritual, juga kemerosotan etis-moral manusia Indonesia. Dan salah satu pemicunya adalah hubungan suami-isteri yang kurang harmonis, yang tentunya dapat menciptakan masalah bagi pertumbuhan karakter, integritas dan sikap anak-anak. Hubungan retak antara orang tua dan anak juga dapat menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.
Salah satu aspek dari Panggilan dan Pengutusan Gereja, sungguh sangat berhubungan dengan pembangunan Keluarga Allah atau jemaat, di mana tiap keluarga ada di dalamnya. Keluarga adalah institusi yang menciptakan manusia. Manusia tidak dilahirkan oleh Gereja, tetapi Gereja ikut serta membangun manusia yang hidup dalam keluarga yang menjadi anggotanya. Gereja Protestan dipanggil dan diutus Allah untuk membina dan mendidik rumah tangga Warga Jemaatnya, agar mampu mengemban Misi Kristus dalam dan melalui pekerjaan gerejawi. Itulah alasan yang melatar belakangi pemaparan ini.
Perkawinan selalu dipakai
menjadi symbol sosial maupun keagamaan.
Perkawinan bisa dipakai untuk menceritakan percampuran antara dua hal berbeda yang berproses menjadi satu kesatuan hidup. Perkawinan itu terjadi, karena kedua pihak yang berbeda menandatangani kontrak kerja sama dengan menyetujui sejumlah persyaratan yang memberikan keuntungan pada semua pihak yang terikat di dalamnya. Akhirnya perkawinan menjadi symbol bagi istitusi sosial, institusi politik, institusi perniagaan, institusi keagamaan dan lain-lain. Awalnya, perkawinan peristiwa keagamaan tetapi sosial. Artinya, sebuah pernyataan sikap yang tertuang dalam perjanjian (kontrak) sosial dari dua orang manusia berbeda jenis kelamin dan yang sedang menjalin hubungan bersama. Perkawinan merupakan fenomena sosial yang berkelanjutan dari hubungan pacaran ---> pertunangan ( martupol ) ---> pencatatan sipil / adapt-istiadat.
Pencatatan Perkawinan Sipil
Bukanlah Urusan Gereja
Perkawinan adalah hasil keputusan dari sepasang manusia berbeda jenis kelamin. Kedua orang itu telah menjalin hubungan kasih sayang dalam kurun waktu tertentu. Sebab itu, mereka memohonkan Negara/Pemerintah mensahkan atau meresmikan hubungannya berdasarkan Undang-Undang Negara yang mengatur perkawinan. Gereja berwewenang mensahkan atau meresmikan perkawinan. Kita harus menyadari bahwa, istilah mengesahkan dan meresmikan tidak perlu dimanipulasikan. Karena secara nyata, Gereja tidak mengesahkan dan tidak meresmikan perkawinan. Gereja tidak pernah diberikan wewenang oleh Allah untuk mengesahkan dan meresmikan perkawinan, tapi Gereja ditugaskan Allah untuk memberkati suami-isteri yang telah disahkan dan diresmikan perkawinannya oleh Negara. Pemahaman seperti ini perlu diketahui oleh tiap Pejabat Gereja dalam melaksanakan tugas pelayanannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan posisi Gereja. Hal ini adalah pemikiran yang berhubungan dengan masalah perceraian.
Karena Jika Gereja meresmikan dan mengesahkan perkawinan maka, pemerintah tidak diperkenankan dan tidak dibenarkan menerima gugatan perceraian dari rumahtangga Kristen. Dalam kondisi ini berarti ; perceraian suami-isteri Kristen harus dilakukan berdasarkan Hukum Gereja. Dan Apa bila ada, atau apabila dipaksakan, mencatatkan perkawinan yang sudah diresmikan dan disahkan Gereja itu merupakan kamuflase belaka. Karena secara juridis atau formal, istilah mencatat merupakan pekerjaan lanjutan dari keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan oleh sebuah institusi penyelenggara hukum.
GEREJA : BADAN HUKUM. Jika Negara / Pemerintah mengakui Gereja selaku Badan Hukum, maka seluruh keputusan yang dikeluarkan Gereja pun harus diakui untuk melegalisasikan dan melegitimasikan tindakannya di hadapan publik. Konsekwensi dan konsistensinya dalam perkawinan : bila disebabkan alasan-alasan tertentu pasangan suami-isteri ingin bercerai, maka masalah perceraiannya diurus dan diproses menurut Hukum Gereja. Hal-hal yang berhubungan dengan area publik seperti : hak pengasuhan anak (anak-anak), pembagian harta gono-gini dan sebagainya disesuaikan dengan Hukum Negara. Kondisi demikian saya pikirkan berdasarkan latar belakang keadilan dan kesamaan hak-hak hukum dari institusi keagamaan. Negara / Pemerintah berlaku tidak adil dalam penyelenggaraan Negara.. Kepada institusi tertentu, Pemerintah memberikan kelonggaran untuk mengadakan Badan Hukum sendiri yang memutuskan sengketa rumahtangga yang berbuntut pada perceraian. Negara / Pemerintah tidak dibangun berdasarkan ajaran agama tertentu, sekalipun saya mengakui adanya nilai ketuhanan dalam proses pembangunan Negara ini. Adalah perbuatan tidak adil, jika Pemerintah / Negara memberikan kebebasan kepada institusi keagamaan tertentu dan mencampuri urusan institusi keagamaan lainnya.
GEREJA TERLIBAT DALAM PERBUATAN BERDOSA, apapun alasannya. Pernyataan saya ini akan tidak diterima oleh sebahagian Pejabat dan Warga GPIB. Tetapi saya tidak pernah menyerah memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang difirmankan Allah. Secara institusional pernyataan saya akan dianggap bersalah, karena melanggar ketetapan – ketetapan Gereja, namun lebih baik saya setia kepada Allah yang berfirman oleh Yesus-Kristus, ketimbang saya mengikuti ketetapan-ketetapan Gereja yang melangkahi kesaksian Alkitab.
TUHAN ALLAH, DALAM DAN MELALUI KRISTUS-YESUS, TIDAK PERNAH MEMBERIKAN WEWENANG KEPADA GEREJA UNTUK MEMBERKATI PERKAWINAN ORANG YANG SUDAH BERCERAI
Seluruh pernyataan Alkitab baik yang dituliskan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terlebih-lebih yang diucapkan Tuhan Yesus-Kristus, tidak pernah membenarkan terjadinya perceraian. Malahan Yesus-Kristus berkata: “Barangsiapa yang menceraikan isterinya karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Mat. 19 : 9). Pernyataan itu harus dibaca dari pikiran Tuhan Yesus-Kristus.
**Siapapun tidak dibenarkan menciptakan kesempatan yang bisa mendorong pasangannya berbuat zinah, sehingga ia membenarkan keputusannya untuk bercerai. Mengapa ? Sebab oleh didorong hawa nafsu dan keinginan biologis orang bisa membuat hal-hal mengejutkan, supaya pasangannya berbuat kesalahan hukum yang menguntungkan dirinya. Jika terjadi perselingkuhan / perzinahan / percabulan yang dilakukan oleh pasangannya, maka yang bersangkutan memiliki peluang untuk bercerai. Ini juga dosa. Manusia tidak mungkin mengetahui hati dan pikiran seseorang, tetapi Allah mengenal ciptaan-Nya.
**Cinta-kasih tidak boleh dijadikan alasan untuk bercerai. Justru di dalam hubungan cinta-kasih, keadaan dapat dipulihkan dan perceraian dapat dihindari. Kadang-kadang kita menemukan kasus di mana perceraian terjadi dikarenakan masalah kecil yang dibesar-besarkan. Malahan tanpa disengaja terlontar ucapan : “Aku menikahinya, karena terjebak”, atau “Sebenarnya aku tidak mencintainya”, atau “Perkawinan ini terjadi karena keadaan mendesak” atau termasuk pernyataan negatif lain seperti itu. Sebenarnya, jika kita mau jujur, alasan-alasan apapun yang dikeluarkan seseorang dalam kondisi sengketa suami-isteri, tidak perlu dilayani. Sebab pernyataan emosional demikian merupakan upaya pembenaran diri dari kesalahan yang dibuat ataupun kerinduan yang dicita-citakan. .
**“Sebenarnya, saya masih mencintainya, tetapi karena ia telah selingkuh, saya tidak bisa menerimanya lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk menceraikan dia” Pernyataan ini juga bertentangan dengan kesaksian Alkitab: “Rahasia (perkawinan) ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan Jemaat” (Efs. 5 : 32). Kata “rahasia” yang dimaksudkan Paulus harus dihubungkan dengan “hubungan Kristus dan Jemaat”. Maknanya :
1).Menurut Paulus, orang percaya secara individual adalah mempelai Kristus. Kristus adalah Mempelai Laki-Laki dan Jemaat / Gereja adalah mempelai perempuan. Kristus-Yesus telah datang melamar manusia menjadi pasangan hidup-Nya. Mahar perkawinan yang dianugerahkan- Nya adalah Darah dan Tubuh-Nya, yang dirayakan dalam pelayanan Sakramen (Baptisan dan Perjamuan). Dalam persekutuan pribadi dengan Kristus (melalui pembacaan firman dan partisipasi ke dalam perayaan Sakramen) tiap orang mengimani, bahwa ia telah menerima anugerah keselamatan dari Allah. Itulah KASIH ALLAH ke atas kehidupan manusia secara pribadi dan bernilai universal.
2).Menurut Paulus, orang percaya secara pribadi itu dipimpin oleh Rohkristus menjadi satu komunitas keselamatan, disebut Gereja / Jemaat.. Komunitas keselamatan ini juga dibangun atas dasar pekerjaan Kristus (1 Kor. 3 : 11). Mereka dihimpun menjadi satu keluarga : Keluarga Allah. Komunitas keselamatan inilah yang disebut Mempelai Perempuan.
3).Meskipun dalam perjalanan keluarga Allah, sang isteri : Gereja atau orang percaya secara pribadi, Kristus (mempelai Laki-Laki) selalu setia atas perjanjian yang dibuat-Nya. Ia selalu mengasihi dan mengampuni Gereja (secara individu maupun kolektif), meskipun ia telah mengkhianati perjanjian-Nya (bd. 2 Tim. 2 : 12b – 13). Kita harus belajar dari Kristus-Yesus, yang kita akui selaku Tuhan dan Kepala Keluarga Gereja, Dia tetap setia, selalu mengasihi, dan selalu memberikan pengampunan, meskipun kita sering berzinah mengkhianati- Nya. Itulah kasih-Nya atas kita. Kasih yang banyak kali menghapuskan pelanggaran dan dosa kita. Kristus-Yesus adalah Suami yang membentuk Gereja sebagai keluarga-Nya. Sama seperti Kristus mengasihi Jemaat, demikianlah setiap suami-isteri yang mengakui Kristus selaku Tuhannya harus saling mengasihi (Efs. 5:29). Jika seorang perempuan dan seorang laki-laki sungguh memahami statusnya di hadapan Kristus-Yesus, serta menghayati kasih-Nya yang senantiasa mengampuni kejahatan dan dosanya, niscaya suami-isteri itu pun mampu saling mengampuni perbuatan zinah, selingkuh, cabul yang dilakukan pasangan hidupnya.
**Menikahkan atau memberkati seseorang yang telah bercerai, sekalipun dia benar menurut keputusan Pengadilan Negara, tetap berdosa, melanggar kesaksian Alkitab. Dosa dalam hal ini, menurut pendapat saya, adalah :
1).Melukai hati nurani kristen yang mengimani Alkitab sebagai sumber Hukum Gereja. Betapapun alasan hukum yang dipegang Gereja adalah sah, namun Gereja bersikap mendua dalam melaksanakan kebenaran Firman Allah menurut pandangan umat Kristen.
2).Sebaiknya, Gereja menolak semua bentuk perceraian dengan alasan-alasannya (meskipun alasan itu benar di mata manusia, belum tentu motivasinya baik). Menurut pentafsiran Pemerintah terhadap UU Perkawinan No. 1 yang disempurnakan serta seluruh Aturan-Aturan lain yang mendukungnya : “Negara mencatat perkawinan sipil”. Konsekwensi logis adalah Negara / Pemerintah wajib pula menghormati Hukum Gereja yang mengatur seluruh bentuk dan fungsi kehidupan umat. Oleh karena itu, sekurang-kurangnya, jika terjadi proses perceraian, maka pertama-tama Negara/Pemerintah wajib menyerahkannya untuk diselesaikan oleh Gereja. Jika suami-isteri tidak menyepakati keputusan Gereja, keduanya dapat mengambil jalur Hukum Negara. Hal ini bukan berarti saya berubah pendirian, melainkan melalui jalur seperti ini saya mempertahankan fungsi penggembalaan Gereja atas umat.
Melalui percakapan pastoral, suami-isteri diarahkan untuk memahami panggilan dan pengutusan Allah dalam menjalankan kehidupan rumahtangga. Jika, pada akhirnya, suami-isteri itu tetap bersikukuh atas sikapnya, maka Gereja harus menyatakan sikapnya, bahwa Gereja tidak akan memberikan kesempatan untuk memberkati perkawinannya dengan siapapun. Hal ini tentunya, seandainya hal itu terjadi. Dan, sekalipun mereka menikah lagi di Gereja manapun hak mereka untuk dipilih menjadi Penatua ataupun Diaken sepatutnyalah, digugurkan. Hal ini tentunya berkaitan dengan keberadaan mereka yang gagal menjadi teladan bagi sesama seiman. Dengan demikian genaplah firman yang diilhamkan Allah dan dituliskan Rasul Paulus, tentang persyaratan menjadi Pejabat Gereja : “Seorang yang tidak bercacat, suami dari satu isteri” demikian 1 Timotius 3 : 2 dan Titus 1 : 6. Kemudian : “Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah” begitu 1 Timotius 2 : 5, lalu : “yang adalah mempelai Kristus”. Bandingkan dengan Efs. 5 : 32
B.PEMBERKATAN PERKAWINAN KRISTEN
Pengertian yang keliru tentang Pemberkatan Perkawinan Kristen, selama ini kita menganut pemahaman yang diwariskan bahwa, pelaksanaan Ibadah Pemberkatan Perkawinan Kristus adalah untuk memohonkan berkat Allah atas manusia saja. Pemahaman seperti ini perlu diluruskan, supaya kita bisa membangun sebuah persepsi bersama dan berlaku di semua tempat. Kita coba membuka misalnya, Liturgi Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. tentang Ibadah Pemberkatan Perkawinan Kristen. Di dalamnya harus ada dua item yang dilakukan, yakni : PENEGUHAN PERKAWINAN dan PEMBERKATAN KELUARGA KRISTEN.
Peneguhan Perkawinan Kristen harus dilakukan mendahului Pemberkatan Perkawinan (keluarga baru). Pemahamannya :
i). Gereja, selaku Badan Hukum yang diakui Negara/Pemerintah, menyatakan kepada semua orang, bahwa status perkawinan pasangan suami-isteri berbeda jenis kelamin ini adalah sah dan resmi serta diakui Gereja dan anggota jemaat.
ii). Peneguhan Perkawinan Kristen itu bahwa peristiwa tersebut terjadi oleh kemauan kedua pihak tanpa dipaksakan oleh siapapun. Didasarkan atas cinta-kasih dan kehendak bebas pasangan tersebut.
Iii). Secara teologis-alkitabiah, Gereja menyatakan persetujuan Allah atas perkawinan yang dimohonkan oleh suami-isteri tersebut. Oleh karena itu, Pejabat Gereja (Pendeta) menyatakan: “Atas nama Bapa, Putera dan Rohkudus, melalui Gereja saya meneguhkan perkawinanmu”. Dalam rumusan tersebut terkandung 2 (dua) makna yang dimaksud : (a) Berdasarkan otoritas Kristus, sang pelayan bertindak atas nama Allah merestui perkawinan, dan (b) sang pelayan bertindak mewakili Gereja melegalisir dan melegitimasi perkawinan tersebut.
Kemudian, pengertian tentang Pemberkatan Keluarga Kristen. Sesudah PENEGUHAN PERKAWINAN barulah kedua suami-isteri berlutut, dan Pelayan Firman (Pendeta) didampingi Penatua – Diaken memberkati KELUARGA, yang diwakili oleh suami-isteri. Menurut saya, pemahaman ini juga harus diuraikan. Ada 3 (tiga) hal yang perlu diklarifikasi :
(a) Pemberkatan Perkawinan itu diberikan ke atas kedua pribadi yang menjadi suami-isteri.
(b) Pemberkatan itu diberikan ke atas KELUARGA. Pengertiannya jauh lebih mendalam dan terbuka ke masa depan. Atas nama Gereja (GPIB), si Pelayan Firman memohonkan berkat Allah ke atas KELUARGA yang tercipta berdasarkan keputusan iman dari suami-istri. KELUARGA yang dimaksudkan dan yang dibayangkan, bukan hanya suami-isteri saja; akan tetapi juga anak (anak-anak) serta harta kekayaan yang akan dikaruniakan Allah kepada suami-isteri di masa depan. Pemahaman saya ini didasarkan atas pernyataan Alkitab : “… keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2 : 24b). Yang diberkati adalah kesatuan, yaitu : KELUARGA / RUMAHTANGGA. Gereja ditugaskan untuk memberkati keluarga yang menjalankan Misi Allah dalam Yesus Kristus. Dan Menurut kesaksian Alkitab, Allah menciptakan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Yang saya maksudkan penciptaan manusia secara tidak langsung adalah kelahiran manusia melalui rahim ibu atau pro-kreasi. Peristiwa kelahiran ini tidak boleh dilepaskan dari Misi Allah yang diemban oleh manusia, dengan mengingat perkataan dalam Kitab Kejadian 1:28a: “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi…”. Jadi fungsi kesatuan suami-isteri mengandung pemahaman suatu kebersamaan yang produktif antara suami-isteri dengan Allah.
“Untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” demikian Kitab Kejadian 2 : 15. Kesatuan suami-isteri wajib mengusahakan potensi hidupnya serta memelihara hasil perolehannya. Dengan demikian, suami-isteri beriman bisa menjadi saluran berkat kepada semua makhluk, terutama manusia. Rasul Paulus mengatakan : “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” Kolose 3 : 23. Dengan kata lain, saya mengartikannya : Tuhan bagi seorang suami adalah isterinya, dan Tuhan bagi seorang isteri adalah suaminya. Oleh karena itu, sama seperti suami-isteri mengasihi Tuhan yang tidak dilihatnya, ia wajib pula mengasihi suami atau isteri yang diberikan Allah ke dalam kehidupan pribadinya.
Dengan demikian kesatuan seperti itu, di mana Allah bekerja, akan terhindar dari perpisahan atau perceraian, kecuali “tidak boleh diceraikan oleh manusia”, kata Yesus dalam Matius 19 : 6 dan Gereja menyimpukannya : “sampai mau memisahkan mereka”. Dalam hal ini Allah tidak memberikan ruang untuk siapapun di antara suami-isteri, dan atau keluarga yang terikat karena perkawinan, berusaha memisahkan / menceraikan sepasang : laki-laki dan perempuan, yang telah menjadi suami-isteri
konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.