15.1.10

Apa dan Bagaimana Konsumen yang Cerdas?


Tahu nama Ralph Nader? Pada 1965, pengacara Amerika itu mengejutkan dunia. Penelitian Ralph berhasil mengungkap ketidakamanan mobil-mobil yang diproduksi salah satu produsen mobil terkenal di negeri Paman Sam itu. Penelitian tersebut mengingatkan agar jangan percaya begitu saja pada barang-barang industri. Walaupun barang produksi itu tampak sangat baik, dan dipromosikan dengan sangat baik.

Jangan percaya begitu saja! Itu tagline gerakan awal hak konsumen dunia saat itu. Sebagai manusia merdeka, konsumen harus kritis. Konsumen harus jeli setiap membeli.
Dengan 'ideologi' Ralph Nader itu gerakan konsumen berkembang pesat di dunia. Gerakan ini bergiat menyebarkan pemahaman: Setiap orang harus menjadi konsumen yang baik. Konsumen yang baik adalah konsumen yang membeli hanya barang yang memang diperlukannya. Konsumen yang baik adalah konsumen yang tahu barang atau jasa apa yang sebaiknya dikonsumsinya.

Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang bukan hanya tahu kualitas barang yang akan dikonsumsinya. Ia juga tahu apa implikasi mengonsumsi barang produksi itu. Baik implikasi bagi diri, masyarakat, maupun bangsa. Ia tidak akan mengonsumsi barang yang diproduksi dengan mengeksploitasi buruh serta yang merusak lingkungan. Juga barang yang hanya akan merugikan ekonomi bangsanya sendiri.

Konsumen adalah manusia merdeka. Yakni, manusia yang mampu mengambil keputusan dan tindakan 100 persen berdasar akal sehatnya sendiri. Manusia yang tidak gampang diiming-iming, dan dipengaruhi oleh pihak lain.

Nah, di Indonesia, gerakan penegakan hak konsumen tersebut salah satunya dipelopori oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau sering disebut YLKI. Tujuan pendirian YLKI pada tahun 1973 adalah meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya dan lingkungannya.

YLKI berbeda dengan Lembaga Perlindungan Konsumen lain di negara-negara barat karena YLKI berfokus sebagai Voice of Voiceless yang berdasarkan prinsip Value for People, bukan Value for Money seperti prinsip-prinsip lembaga konsumen di negara-negara barat. Jadi telah terjadi proses penyesuaian nilai-nilai utama dalam prinsip perlindungan konsumen dari Value for Money (Barat) menjadi Value for People karena menyesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

Ada beberapa kendala utama yang dihadapi YLKI dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah Kebiasaan Konsumen di Indonesia yang Extreme Nrimo, Pelupa, dan Pemaaf. Kebiasaan-kebiasaan ini mencerminkan kurangnya Kesadaran Komunal di Indonesia.. Masyarakat Indonesia jarang sekali memikirkan orang lain bila tidak sangat terpaksa dan hal ini mencerminkan sebuah kesadaran individu yang agak berlebihan.

Belum lagi kendala yang dihadapi dari pihak pemerintah yang cenderung berpihak pada produsen, ditambah ketidakpedulian pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen. Mudah saja melihat hal ini, menurut Aktivisi YLKI Indah Suksmaningsih dalam talkshow di program Smart Consumer (29/02). Misalnya, saat ini konsumen ‘dipusingkan’ dengan perang iklan para pelaku usaha di bidang telekomunikasi (provider nomor selular). Mereka berlomba-lomba menarik konsumen dengan sejumlah trik biaya termurah. Padahal, Indah mengungkapkan biaya yang dikeluarkan konsumen Indonesia untuk telekomunikasi dengan menggunakan telepon selular, ternyata lebih mahal berkali lipat dibanding biaya yang seharusnya dikeluarkan. Atau dengan kata lain, sebenarnya keuntungan yang diraih para pelaku usaha itu, sangat tinggi.

Sebagai gambaran, data dari Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia / BRTI, menunjukkan harga produksi untuk tarif bicara yang dikenakan operator telepon seluler rata-rata Rp 75 per 30 detik. Sementara untuk layanan pesan singkat (SMS) bisa di bawah 50 persen dari tarif bicara tersebut. ”Bahkan, untuk tarif sesama operator (on net) seharusnya gratis,” kata Committee Member BRTI Kamilov Sagala. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut, BRTI mengajukannya ke KPPU untuk diusut sebagai dugaan praktek kartel antar operator telepon selular yang merugikan konsumen. Karena itu, Indah mengatakan YLKI mendukung upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha / KPPU untuk menyelidiki kasus ini.

Bercermin dari kendala-kendala tersebut, YLKI tentunya tidak patah arang. YLKI tetap pada visi mereka untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat untuk menjadi konsumen yang cerdas (to be a smart consumer) ketimbang mengadvokasi konsumen yang merasa dirugikan. Tentu upaya ini tidak mudah dan perlu konsistensi perjuangan, “Mungkin selama ini rakyat hanya diajarkan untuk belajar ‘how to believe’,” kata Indah Suksmaningsih. Ya, karena itu pula 96.30RPKFM tetap konsisten mengedukasi Sahabat RPK untuk menjadi konsumen yang cerdas. konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.