14.1.10

BONGKAR BILA PERLU

Oleh : Sherly Doornik

Kondisi majemuk merupakan kondisi yang sangat rentan terhadap konflik. Bagaimana tidak, keberagaman bila tidak dijembatani dengan baik, akan menghasilkan gesekan. Sejak penjajahan Belanda kondisi Indonesia yang beragam ini dijadikan sasaran tembak. Sepertinya tetap ada titik lemah, yang memudahkan pihak lawan memecahbelah solidaritas kebangsaannya. Itulah sebabnya Belanda dapat menguasai Indonesia selama 350 tahun!! Kesadaran akan keberagaman juga tidak pernah tuntas walaupun Belanda telah terusir. Yang ada hanyalah satu bentuk kesadaran semu dan terkadang membuat bingung siapa saja yang menghidupinya.
Parahnya proses pengenalan dan internalisasi identitas dasar sebagai bangsa Indonesia tidak pernah ditangani dengan baik, sehingga keberagaman yang dulu dianggap Belanda sebagai kelemahan, tetap menjadi kelemahan yang tidak dapat teratasi sampai sekarang. Masalah menjadi kompleks saat identitas mengerucut pada agama/kepercayaan. Karena tiba-tiba seluruh gerak dan langkah dinilai dari sudut pandang teologi yang kemudian berujung pada klaim angka mayoritas, minoritas.

Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang digulirkan sejak 1928 cenderung tidak cukup kuat untuk menjembatani dan menumbuhkan rasa Nasionalisme. Seorang ahli sosiologi, Tamrin Amal Tomagola1 saat diwawancarai di RPK FM, menilai hal ini lebih karena tidak adanya critical enggagement atau ikatan kritis antar sesama komunitas yang ada di masyarakat Indonesia. Ikatan kritis seharusnya dibangun dengan semangat mencari titik temu dari masing-masing pihak. Namun nampaknya hal itu sulit terjadi. Malah sebaliknya untuk menghindari diri dari gesekan dengan orang lain, seseorang akan membangun dan tinggal di daerah nyamannya (comfort zone) tanpa ingin ke luar lagi.

Renggangnya ikatan sosial, makin diperparah dengan adanya berbagai politik aliran dan tidak adanya representasi politik, sehingga terkesan makin powerless. Apakah kondisi powerless ini melulu karena renggangnya ikatan sosial, politik aliran dan tidak adanya representasi politik? Ternyata tidak juga !!! Pdt. DR. Albertus Patty dalam paparannya mengatakan kondisi powerless itu tercipta karena adanya sikap a-politic dan a-sosial. Ada kecenderungan masyarakat menerjemahkan secara salah tugas dan tanggung jawabnya di dunia dengan melakukan tindakan sebatas memberikan sumbangan pada orang yang membutuhkan tanpa mau peduli apakah orang yang diberikan sumbangan itu dapat bertahan hidup atau dapat mengembangkan kapasitasnya atau tidak. Mereka yang seperti ini cenderung cuci tangan terhadap timbulnya berbagai masalah sosial, misalnya pergantian cuaca yang sangat drastis akibat dari penggundulan hutan yang sangat massive, kejahatan yang diakibatkan dari kemiskinan dalam arti yang luas dan lain-lain. Sikap a-politic dan a-sosial ini harus segera ditinggalkan, bila tidak orang lain cenderung akan bertindak mengatasnamakan kita, rakyat Indonesia. Tanpa bisa kita bertindak untuk mencegah apalagi mengkoreksi, bila orang yang memakai nama kita itu melakukan tindakan penyimpangan atau kejahatan.

Tidak mudah memang, tetapi program bincang sore Gagasan Kita untuk Indonesia mencoba menghidupkan forum pendidikan sosial, budaya, politik dan ekonomi secara terbuka dan gamblang. Gagasan Kita untuk Indonesia, bukan hanya sekedar gagasan tanpa pemikiran mendalam; bukan pula gagasan yang hanya sekedar dilemparkan lalu kemudian dilupakan; tetapi satu gagasan yang diharapkan dapat menghasilkan tindakan nyata dimana kita semua harus berani bersikap dan menentukan pilihan yang terbaik. Semua itu demi hilangnya pengkotak-kotakan masyarakat yang diskriminatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.