Hari Tanpa Tembakau Se-dunia tanggal 31 Mei 2009 yang lalu, dunia Internasional mengangkat tema “Tobacco Health Warning”. Pada siaran Smart Consummers, bersama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di RPKfm menyairkan obrolan yang bertopik “Kemiskinan yang ditimbulkan tembakau, serta malnutrisi yang ditimbulkan oleh konsumsi tembakau.” Kesadaran ini didasari arahan WHO akan peringatan bahaya merokok kepada pictorial health warning.
YLKI, mengkritisi akan peringatan bahaya merokok yang masih sebatas peringatan bahaya merokok dalam rangkaian kata-kata.
Dalam perbincangan yang menghadirkan Tulus Abadi dari YLKI ini, juga mengingatkan kita bahwa peringatan bahaya merokok itu, ternyata juga masih diletakan di bagian belakang dari bungkus rokok, dengan bentuk yangb kurang dari 25% dari keseluruhan bungkus rokok yang diperdagangkan.
Peringatan yang tidak efektif ini tentunya menunjukan ketidak seriusan pemerintah dalam menyehatkan masyarakat Indonesia untuk menjauhi keberadaan tembakau dari kehidupan masyarakat. Padahal, kalau melihat peringatan-peringatan bahaya merokok yang diterapkan oleh negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara ataupun juga negara-negara sahabat di negara-negara maju, peringatan bahaya merokok pada bungkus rokok sudah menggunakan gambar segala penyakit yang diakibatkan dari merokok. Dan perlu diketahui juga bahwa rokok produksi di Indonesia yang diperdagangkan di negar-negara tersebut, sudah membuat kemasan yang meletakan peringatan bahaya merokok dengan gambar, yang memiliki ukuran sebesar 50% dari bungkus rokok, dan diletakan didepan kemasan. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keseriusan pemerintahan sekarang ini untuk menyehatkan keberadaan masyarakatnya. Saat ini peranan nyata pemerintahan Indonesia masih menggunakan PP no.19/2003, yang bila disadari bahwa, kerangka konvensi pengendalian dampak tembakau yaitu, FCTC atau framework convention on tobacco control, telah menjadi hukum internasional. Dan seharusnya Indonesia sebagai active state party dan legal drafter, sudah melakukan ratifikasi FCTC tersebut, seperti yang telah dilakukan oleh 164 negara.
Adalah hal yang luar biasa bila pemerintah Indonesia tetap membiarkan keberadaan Indonesia sebagai negara konsumen tembakau nomor tiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Reputasi ini rupanya juga belum menggoyahkan pemerintah Indonesia yang seharusnya memberlakukan tembakau sebagai candu karena, rokok adalah produk yang dikenai cukai dengan nilai dari 10%-30%. Itu memiliki arti bahwa, rokok merupakan “produk yang berdosa” atau “sin tax” yang maksudnya adalah agar masyarakat tidak dengan mudah mendapatkan keberadaan penjualan tembakau dalam bentuk rokok. Seharusnya pemerintah memasukkan rokok dalam kategori “bahan adiktif lainnya” dalam kerangka narkoba. Hal ini memang pantas, mengingat akses sangat bebas untuk mendapatkan rokok, hingga trend prevalensi perokok muda sangat tinggi, disamping, 70% perokok di Indonesia yang jumlahnya sebanyak 60 juta jiwa, yang terkategorikan ke dalam orang miskin, baik sebagai penduduk kota dan atupun juga penduduk desa.
Dalam Interaktif yang terjadi dengan para pendengar saat itu, pendengar RPK yang disapa dengan Sahabat RPK mengharapkan YLKI untuk berperan menambahkan penyakit stroke tersebut akibat merokok. Dan memang selain stroke, YLKI dan lembaga-lembaga sosial yang begitu perduli memang juga terus berjuang untuk mendorong ratifikasi tersebut diatas. Selain itu juga, Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan atau B-POM saat ini masih merancang ulang peringatan kesehatan yang ada di bungkus rokok terhadap apa yang ada dalam PP no.19/2003, agar bisa tampil lebih jelas, lebih tegas, menunjukan langsung akibat yang ditimbulkan. Dan pemerintahan saat ini, masih membiarkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani FCTC, apalagi meratifikasi. Selain itu juga, interaksi lainnya mengangkat permasalahan pandangan kondisi ini sebagai lingkup edukasi terhadap masyarakat dalam masalah rokok. Hal ini sangat menunjukan ketidak ada keseragaman pemikiran dalam hal kepedulian, antara masyarakat yan merokok terhadap masyarakat yang tidak merokok. Seperti halnya keberadaan sponsor olahraga saja oleh rokok, yang begitu menanmpakan pemutar balikan dari kenyataan yang ada, yaitu rokok yang bisa menghancurkan kesehatan dan olahraga yang meningkatkan kesehatan manusia. Dan pada sisi lain, cukai yang dibayar perokok itu, sebenarnya beranjak dari kalangan miskin. Jumlah cukai sebesar 50 trilyun rupiah, yang hal ini berarti bila diambil 1 trilyun saja maka pembiayaan terhadap olah raga dan kegiatan menyehatkan ini dibiayai oleh industri rokok yang bisa hilang sama sekali.
Dengan posisi Indonesia yang belum meratifikasi FCTC serta RUU pengendalian tembakau yang masih belum jelas ini, edukasi atau legalisasi peraturan harus berjalan dan sejalan. Dengan peningkatan harga cukai rokok, pelarangan total iklan dan sponsor rokok, penyediaan kawasan tanpa rokok, dan peringatan dalam bentuk gambar pada kemasan rokok. Dan tentunya harus diberadakan paradigma bahwa, merokok bukan kebiasaan tetapi adiksi.
konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.