22.12.11

Pendidikan di Korowai dan Kombai

Dunia pendidikan yang terlihat begitu menakjubkan di depan mata, ternyata menutup segala kealpaan yang terjadi dibalik pemandangan-pemandangan indah di depan mata. Untuk wilayah di negeri ini, dalam hal pendidikan ternyata memiliki potret yang berbeda dalam perkembangannya. Sebuah catatan dalam sebuah perkembangan di dunia pendidikan belahan negeri di sebelah sini dengan belahan negeri di sebelah sana, ternyata tidak sama.

Kesadaran dan perlakuan terhadap dunia pendidikan pada suatu wilayah , sungguh sangat berbeda. Apapun tantangan yang dihadapi, kolaborasi dua unsur ini, sangat menentukan akan kemajuan wilayah atau kemunduran nya. Sebuah kisah yang pernah berlangsung beberapa tahun belakangan ini, masih mengusik untuk ditelisik. Kisa semangat membangun dari wilayah yang terus membangun itu perlu pendukung, yaitu pengingat bagi semua elemen penggerak dunia pendidikan.

Kalau kita masih ingat tekat beberapa orang asal Korowai dan Kombai, di tanah Papua, yaitu rindu membantu kampung halamannya untuk bisa maju dan terdidik maka kita akan mengingat sosok Hermina Gorik, seorang ibu dari 5 anak. Hermina pernah mengatakan bahwa pendidikan di Korowai Kombai, Boven Digul, Papua, masih memprihatinkan. Karena beberapa tahun yang lewat, pendidikan bagi anak-anak di tempat ini nyaris tak ada yabng mau lagi menyentuh. Infrastruktur dan tenaga pengajar di sana sangat kurang.

Siapa yang mau pergi kesana untuk mengajar?” begitu katanya, balik bertanya. Paling tidak itulah kalimat tantangan yang dilontarkan Hermina. Bersama Mona, dan Samuel Kelly, Hermina mengekspresikan kepeduliannya dengan memberikan tenaganya untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di tempat itu. Hanya berbekal keprihatinan dan ingin mengajar, Hermina menimba ilmu cara mengajar di Kota Jakarta.

Awal tahun 2010 yang lalu Hermina kembali ke tempat asal, tempat di mana masyarakat nya membangun rumah di atas pohon-pohon yang tinggi. Saat kembali, semangat memajukan pendidikan anak-anak di kampungnya masih bergelora. Tanpa melupakan asal muasalnya, rencana membuka panti asuhan, guna memudahkan anak-anak pedalaman memperoleh akses pendidikan secara mudah, adalah salah satu rencana besarnya. Garis besar rencana Hermina adalah mendatangkan pendidikan sedekat mungkin dengan masyarakat.

Itylah tekat besar yang mungkin saja tak terpikirkan pemerintah daerah maupun pusat, bagi kampung halamnnya. Bayangkan jarak yang harus ditempuh anak-anak Korowai dan Kombai dalam memperoleh pendidikan adalah tiga sampai empat hari, lamanya! Tentunya ini bukan hal yang wajar, mengingat Korowai dan Kombai sampai saat ini masih didaulat sebagai penduduk Indonesia, yaitu negara yang telah merdeka selama 66 tahun!

Selain jarak untuk memperoleh pendidikan, infrastruktur pendidikan juga belum memadai, sekalipun dengan standard yang minimal. Selain itu juga, dalam hal kualitas proses belajar mengajar, pola dan cara yang biasa dilakukan di Kota Merauke misalnya, sekalipun bangunan sekolah dan perlengkapan standar tersedia, proses belajar mengajar nya masih dibawah standar. Mona menggambarkan cara mengajar guru-guru nya terlalu kaku dan kurang kreatif.

Kondisi ini menurutnya, membuat banyak siswa kurang berkembang, lantaran banyak siswa yang sering mangkir karena bosan. Selain itu, Samuel Kelly mengungkapkan bahwa banyak anak-anak yang masih berusia enam sampai tujuh tahun, lebih memilih bekerja yang dianggap lebih variatif kegiatannya. Mencuci mobil di sekitar bandara, misalnya, yang dianggap lebih menyenangkan ketimbang belajar. Namun hal menyedihkan, dari pengakuan mereka, proses belajar mengajar itu bisa terhambat akibat seringnya ketidak hadiran guru. “Bersekolah satu minggu dan liburan satu bulan sering terjadi disana,” demikian Samuel mengungkapkan.

Kompleksnya permasalah pendidikan anak di Papua, memang kontras dengan alokasi anggaran pendidikan. Institut Pemberdayaan Civil Society pernah menyatakan bahwa, pendidikan yang diidamkan pada daerah paling timur Indonesia, masih jauh sekali. Anggaran selama ini hanya habis untuk gaji, tunjangan, dan honor pegawai. Padahal tenaga pengajar yang memperoleh gaji pun masih sering kedapatan mangkir. ath/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.