7.7.11

Penyelenggara Pendidikan yang Membatasi Hak Didik

Bukan rahasia lagi kalau biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Berbagai pungutan yang diterapkan  lembaga pendidikan ikut andil kian melambungnya biaya pendidikan. Lucunya lagi, permasalahan ini adalah masalah klasik hingga kini tak terselesaikan. Masih kita ingat slogan lawas dunia pendidikan yang menyatakan “Wajib Belajar 9 Tahun”, yang belakangan dikoreksi
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional menjadi “Hak Belajar 9 Tahun”. Maksudnya adalah
untuk mengingatkan bahwa anak Indonesia tanpa kecuali, memiliki HAK untuk mengenyam pendidikan. “Paling tidak sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama”, ujar Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir.

Namun nyatanya, sampai saat ini banyak anak Indonesia yang belum terpenuhi hak didiknya. Data dari Kemendiknas (Kementerian Pendidikan Nasional) tahun 2009 menyebutkan, sedikitnya 483 ribu anak usia Sekolah Dasar tidak lagi meneruskan pendidikan. Dan pada perkembangannya, masalah pendidikan di Indonesia bertambah ketika lembaga pendidikan yang ada disandangkan embel-embel tambahan yang dikenal dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau RSBI dan Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI. Menjamurnya sekolah berplakat internasional, sedikit banyak didukung oleh undang-undang, terutama dalam hal diberikannya kebebasan menarik biaya dari orangtua murid, berdasarkan kualitas dan fasilitas yang dimiliki. Pada akhirnya menjadi bukan rahasia, bila sekolah berlebel internasional ini lebih mempertimbangkan  kemampuan ekonomi orang tua murid ketimbang kemampuan calon murid.

Peraturan di negeri ini memang memperbolehkan RSBI dan SBI menarik pungutan dari orangtua murid, namun bukan berarti penyelenggara hanya terfokus pada tinggi rendahnya kemampuan keuangan orang tua calon muridnya. Karena seharusnya penyelenggara lebih menitik beratkan pada kemampuan intelektual calon muridnya. “Sehingga dari strata ekonomi manapun bisa masuk di sekolah dengan embel-embel internasional itu,” kata Husna memaparkan. Kondisi yang dibiarkan ini, mengarahkan penyelenggara pendidikan tebang pilih dalam melayani pendidikan anak Indonesia. Dan bukan hal yang berlebihan bila dunia pendidikan nasional di Indonesia membutuhkan pembenahan yang serius. Dan akan lebih baik pembenahan pendidikan regular sesegera mungkin agar hak pendidikan anak Indoneseia bisa terpenuhi.

Berkaitan dengan hal ini, pengamat pendidikan, Dharmaningtyas, mengatakan bahwa, sesungguhnya Indonesia tidak memerlukan sekolah dengan embel-embel internasional, baik itu RSBI atau SBI. “Tanpa sekolah dengan label internasional, Indonesia bisa maju!” ungkapnya menjelaskan. “Tentunya dengan sistem pendidikan berkualitas yang dimiliki” tambah Dharmaningtyas. Menurutnya, sekolah berembel-embel internasional ini adalah titipan negara lain untuk menciptakan liberalisasi pendidikan demi kemudahan penjajahan ekonomi di Indonesia melalui bisnis. Label internasional ini juga mengindikasikan adanya usaha melegitimasi penjualan pernik-pernik pendidikan seperti software, buku, sampai tenaga pengajar.

Jadi keberadaan embel-embel ini hanya untuk kelangsungan perdagangan semata, karena secara substansial, Indonesia tidak memerlukan sekolah dengan embel-embel internasional. “Daya saing anak bangsa tidak ditentukan oleh embel-embel internasional sebuah lembaga pendidikan,” kembali Dharmaningtyas mengingatkan. Husna juga mengingatkan bahwa, mendorong peningkatan kualitas sekolah negeri itu sangat penting. Dengan harapan dari kualitas yang dimiliki itu bisa diakses oleh semua anak Indonesia. Satu hal yang penting menurut Husna, adalah pendidikan non formal. “Pendidikan di luar sekolah,  membentuk karakter dan moral masyarakatnya,” demikian Husna yang pernah menjabat sebagai ketua harian YLKI.

Persoalan lain yang diingatkan Husna adalah semakin berkurangnya tenaga guru berkualitas di sekolah negeri yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. “Sebab sekolah negeri masih menjadi pilihan masyarakat,” ujar husna menambahkan. Dari pemaparan-pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita sangat membutuhkan apa yang namanya keseriusan perhatian terhadap dunia pendidikan kita. Hal ini tentunya bertujuan untuk menjaga agar pendidikan di negeri ini tidak menjadi barang langka, bahkan barang mewah karena sulitnya masyarakat menggapai pendidikan. Dan di sisi lain kita harus tetap ingat bahwa, pendidikan adalah hak dasar manusia untuk mendapatkannya. Namun bila keadaan seperti ini dibiarkan, akankah hak belajar terpenuhi? ch/ath/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.