Cara pandang orang dewasa tentang tingkah ataupun kebutuhan seorang anak sangat menentukan pola asuh terapan pada anak tersebut. Sementara berbagai keluhan orang tua akan aktivitas anak yang kian hari kian banyak bertanya, banyak meminta, bahkan diasumsikan banyak menentang keinginan orang dewasa, terutama orang tuanya. Ketidak tahuan akan menimbulkan kebingungan bahkan melahirkan kemarahan yang tidak perlu.
Ketidak tahuan tersebut adalah ketidak tahuan seputar pola asuh anak yang ideal. Tapi adakah pola asuh yang ideal itu? Seorang Pakar Anak Seto Mulyadi mengatakan bahwa, pola asuh ideal itu ada. Menurut lelaki yang di kenal dengan Kak Seto itu, pola asuh ideal akan terbukti dengan hasil keakraban, kemesraan, dan kekeluargaan antar anggota keluarga, terutama anak-anak dengan para orang tua. Pola Asuh ideal adalah pola asuh yang sesuai dengan harapan semua pihak, yaitu pola asuh yang bersifat 'win-win solution'.
Pada masa dahulu, kata Kak Seto, seorang anak harus menurut kepada orang tua. Dan memang pada kurun waktu tertentu, budaya menyatakan bahwa, apapun yang diputuskan orang tua harus dipatuhi. Budaya ini berlangsung karena saat itu sumber informasi hanya sedikit yaitu orang tua, koran dan radio. Budaya itru bergeser dengan kemajuan teknologi komunikasi, di mana seorang anak bisa mendapat informasi dari banyak sumber, seperti TV, internet, Facebook, Twitter, dan lainnya. Budaya yang tumbuh oleh dorongan teknologi informasi itu sulit untuk dibendung. Dan siapapun yang memaksakan budaya masa lalu yang lebih menekankan kehendak atau aturan orang tua, akan menghasilkan anak yang tumbuh dalam kebingungan. Mereka akan membandingakan kehidupan dalam rumah dengan informasi yang didapat dari luar rumah. pada akhirnya bisa saja melahirkan kesimpulan anak bahwa, aturan orang tuanya tidak tepat atau tidak adil.
Maka pola asuh ini akan melahirkan sebuah perlawananan atau pemberontakan yang tidak sehat seperti; anak memilih menghindar yang tidak disukai di rumah dengan cara kabur dari rumah. Bila dilihat keadaan ini, seolah-olah kita sedang menghadapi sesuatu yang berhadap-hadapan antara budaya yang menghadapi tantangan zaman. Namun menurut Kak Seto, ini bukan sebuah tantangan melainkan peluang. Ia mengatakan bahwa sudah bukan jamannya lagi orang tua bermimpi memiliki anak yang penurut. tapi justeru sekarang, saatnya orang tua bermimpi memiliki anak mandiri dan bisa diajak berkjasama. Dengan kesadaran ini, anak juga akan dibiasakan berbicara secara demokratis dalam keluarga. Menurut Kak seto, penerapan pola asuh itu adalah bagaimana orang tua mampu membagi tugas dengan anaknya, yang bisa dimulai sejak dini. "Misalnya ayah pergi bekerja, Ibu memasak," kata Kak Seto, "maka tugas Anak adalah pergi ke sekolah, cuci piring, atau merapikan kamar," tambah Kak Seto menjelaskan. Tidak sampai di situ saja, orang tua juga harus mampu memberikan jadwal bermain, bercanda, dan liburan.
Bila pembagian tugas ini bisa diterapkan dengan baik maka, pola asuh ini akan berjalan dengan hasil 'win win solution'. Karena metode ini memang dirancang untuk memberikan rasa adil pada anak dalam menjalankan tugas mereka. Karean pola asuh ini akan membuat seorang seorang anak merasa bahwa tugas ini adalah sebuah kerjasama dan bukan pemaksaan atau keharusan dari orang tua yang otoritarian. Jadi dalam pola asuh yang ideal, tugas anak bukan hanya belajar atau membuat PR, tapi juga tidur siang dan menceritakan perasaan nya. yang terakhir tentunya, selain agar orang tua tahu perasaan anaknya, orang tua juga membiasakan anak untuk mau membicarakan apa yang dirasakan, karena hal ini bisa membantu kesehatan mental anak. “Tugas 'curhat' ini memudahkan orang tua untuk melihat permasalahan anak," ucap Kak Seto. forum curhat ini akan melatih anak mengambil solusi yang pas. Selain itu juga menurut Kak Seto, anak tidak akan merasa tertekan dalam masalahannya. "dan tetap mendapat bimbingan dari orang tua," ucap Kak Seto memberi keyakinan akan tindakan ini.
Kak Seto juga mengingatkan agar orang tua untuk membiasakan diri selalu tersenyum, tertawa, menyanyi, melawak, atau mendongeng. Memang acap kali, masalah yang mengena pada anak-anak memancing emosi, terlebih lagi bila muncul nya di saat yang kurang tepat. Namun kebiasaan tertawa bernyanyi dan bersuka ria dihadapan anak, saat ada permasalahan pada anak, sedangkan suasan hati orang tua tidak menyenangkan, maka orang tua bisa mengambil sikap tanpa harus menggunakan nada tinggi dan bahasa yang kasar. Cukup dengan banyak berdiam dan menatap mata anak dengan tajam, tanpa haris melotot. Kebiasaan marah dengan sikap ini akan mempermudah anak untuk mengerti bahwa orang tua tidak menyukai tindakannya. Karena dari banyak kasus, sikap keras pada anak-anak di Indonesia lahir dari tiruan kebiasaan orang tuanya. Karena pada dasarnya, individu yang keras, kejam, dan sikap kasar lainnya, justru tidak mencerminkan kualitas manusia yang unggul. Pola asu yang ideal ini harus menjadi satu Gerakan Nasional untuk menerapkan Stop Kekerasan pada Anak, baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dan pada kesempatan ini juga, kak Seto menyisipkan pesan bahwa anak yang harus berhadapan dengan hukum, tidak harus disiksa, dipukul, atau dimasukkan kedalam tahanan yang bercampur dengan orang dewasa. Harus ada satu 'political will' dari pemerintah dan masyarakat untuk melihat bahwa anak-anak seperti sekuntum bunga yang sedang merekah. Bunga yang sedang merekah itu bila tidak disiram dengan penuh kasih sayang, tidak dipupuk, tidak dirawat dan tidak dilindungi dari terpaan angin, maka bunga itu akan layu sebelum berkembang. Pemerhati anak ini selalu mengingatkan bahwa, bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak. Mencintai anak-anakadalah menghargai hak-hak asasi anak. "Perlakukanlah anak sebagai sahabat," begitu ujar Kak Seto mengingatkan. Menurutnya, anak-anak bukanlah manusia dalam komunitas kelas bawah yang harus ditekan. kak seto memberikan analogi bahwa anak-anak tidak seperti sandal jepit yang selalu dijepit dan diinjak. Oleh sebab itu, memperlakukan anak tidak dengan pendekatan kekerasan. "Pendekatan pada anak tidak harus dengan cara kekerasan," begitu kembali ia mengingatkan. Pendekatan pola asuh anak harus dengan kekuatan cinta. "Bukan cinta pada kekuatan," pesan Kak Seto menutup pembicaraan ini.hla/ath/konstantin/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.