*Saat Mencuatkan dan Menciutkan Perbedaan
Memaknai sebuah perjalanan waktu dalam kehidupan bermasyarakat memang tidak semudah ucapan orang-orang yang me-motivator-kan diri di koran, radio, internet dan tv. Menghadapi kondisi kemajemukan masyarakat negeri ini sangat berbeda dengan menerima setumpuk kertas di atas meja kerja. Kondisi keberagaman yang antara lain adalah keberagamaan dalam masyarakat di negeri ini, tampak sangat begitu rentan konflik. Kemajemukan yang sebaiknya dalam koordinasi kekuasaan ini, sesungguhnya masih mengalami kemandirian kelola yang sangat tampak dipaksakan.
Di sisi lainnya, bila melihat pengalaman dari Kerajaan Belanda selama berabad-abad memerintah di atas negeri ini, tampaknya pemimpin demi pemimpin di atas negeri lebih giat menerapkan pola kepemimpinan kolonial. Keberagaman yang rentan akan konflik, tampaknya bisa menjadi alat efektif untuk kepentingan kekuasaan. Bila sekilas, tampak sebagai ketidakmampuan kepemimpinan. Namun apakah benar akibat ketidak mampuan pengelolaan keberagaman dapat dengan mudah menjadi kekayaan elemen instrumen kekuasaan penguasa?
Perbedaan turun temurun yang telah lama ada dalam masyarakat negeri ini, yang bisa jadi perbedaan itu tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang penting dalam hubungan bermasyarakat. Namun waktu-waktupun bergulir, merubah kondisi masyarakat negeri ini. Perbedaan jadi sangat penting, dan menjadi barang yang sangat sensitif dalam bermasyarakat. Perbedaan dalam masyarakat yang dengan mudah mencuat mengindikasikan, sebenarnya dapat juga menciut. Namun apakah pengaruh yang timbul bila perbedaan itu mencuat atau perbedaan itu menciut.
Perbedaan yang mencuat dalam masyarakat negeri ini tentu telah menunjukan hasil selama ini. Kepentingan kelompok berbeda bisa menghasilkan pembunuhan masal yang membabi buta. Perbedaan yang mencuta itu juga bisa melahirkan pengrusakan bangunan tempat beribadah kelompok berbeda yang lainnya. Perbedaan yang mencuat itu juga bisa membuat kelompok yang membutuhkan lahan menyingkirkan sekelompok masyarakat yang telah lama hidup di atas lahan.
Begitu banyak pertumpahan keringat hingga darah dari mencuatnya perbedaan yang saat ini, tampaknya menjadi sesuatu yang penting, bahkan terlegalisirkan negara. Namun disadari atau tidak, perbedaan yang mencuat ini telah menorehkan catatan perjalanan panjang dari sebuah keberhasilan. Keberhasilan pengelolaan perbedaan dalam kehidupan masyarakat di negeri ini, membuat Pemerintah Kerajaan Negeri Kincir Angin berhasil berangin-anginan di atas negeri ini selama 350 tahun!!
Proses pengenalan identitas dasar sebagai bangsa sebuah negara kepada masyarakat negeri ini, tampaknya tertangani dengan baik. Keberagaman yang dulu digunakan Belanda sebagai kelemahan yang menguatkan kekuasaan masih bergulir sampai sekarang. Namun pola ini sepertinya kian menjadi kompleks, lantaran seluruh gerak dan langkah dinilai dari sudut pandang berbeda dan pada akhirnya akan terus menggulirkan gelimpangan korban meninggal.
Masyarakat negeri ini sudah seharusnya menyadari bahwa, perbedaan di negeri ini akan selalu bersanding dengan kehidupan bermasyarakat di negara ini. Perbedaan suku bangsa, perbedaan ideologi kekuasaan, perbedaan tingkat sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan kebutuhan ekonomi dan pelbagai perbedaan lainnya. Selama sejarah bergulir bersamaan perjalanan waktu yang dilintasi negeri ini, negeri ini pernah melahirkan konsep Bhinneka Tunggal Ika pada tahun 1928.
Seharusnya bersamaan bergulirnya waktu, konsep Bhinekatunggal Ika bisa kian menguat dan bukan memudar. Hal ini seiring dengan harapan bahwa perbedaan itu kian menciut, bukan mencuat. Menciutnya perbedaan akan mencuatkan gerakan kesatuan dan penyatuan perbedaan dalam masyarakat. Gerakan ini pernah teruji sebagai gerakan yang mengungkapkan kekuatan masyarakat terhadap kesewenangan permainan kekuasaan. Penyatuan perbedaan suku dan etnis mencuatkan kesamaan sebagai bangsa di Nusantara, yang bisa menciptakan negara bagi masyarakat di negeri ini.
Dengan waktu-waktu yang bergulir menyerta masyarakat di negeri ini, baik di masa pendudukan Jepang, usaha pendudukan kembali oleh Kerajaan Belanda, penciutan perbedaan keimanan di tahun 1965, hingga penciutan perbedaan strata sosial di tahun 1998. Penyatuan kekuatan masyarakat terhadap kesemenaan kekuasaan melalui pola mencuatkan perbedaan, akan mudah menghardikan pola-pola kekuatan kekuasaan yang sebenarnya sedang mempermainkan nyawa-nyawa anggota keluarga dari masyarakat negeri ini.
Menciutkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat, akan memudahkan masyarakat negeri ini kembali membangun kekuatan masyarakat dengan menemukan titik temu antar masyarakat dalam hubungan bermasyarakat. Sudah sewajarnya sebagai masyarakat yang berke-Tuhan-an, masyarakat negeri ini harus menerjemahkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai umat manusia di dunia dengan melakukan tindakan yang bukan hanya mewujudkan hubungan dengan tindakan sebatas memberikan sumbangan pada orang yang membutuhkan, atau hanya berbuat baik pada orang yang sering memberikan uang saja.
Lebih dari itu, tindakan-tindakan memberi dan menerima itu harus bisa dilanjutkan dengan adanya rasa saling perduli dengan sesungguhnya dengan saling mengerti tentang usaha masing-masing untuk bertahan hidup dan pengembangannya. Sikap yang secara tidak langsung mendorong masyarakat saling mengerti ketergantungan masing-masing dan ketergantungan bersama pada alam lingkungannya. Dengan terciptanya hal ini, masyarakat tidak akan lagi saling tuding sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab, atas struktur kehidupan antar masyarakat ataupun dengan lingkungan alam sekitarnya.
Kearifan lokal yang adalah bisa menjadi pemimpin masyarakat dalam membangun dan menciptakan harmonisasi masyarakat negeri-negeri di atas Nusantara ini. Kearifan lokal tidak bisa dicurigai sebagai sikap menolak kekuatan atau kekuasaan yang lebih luas. Kearifan lokal juga bisa dijadikan pemimpin terpercaya sebagai elemen harmonisasi masyarakat yang merenda kekuatan masyarakat, guna menghindari pengaruh instrumen kekuatan kekuasaan yang acapkali hadir, dan sekonyong-konyong mencuatkan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Menciutkan perbedaan memang tidak semudah mencuatkan perbedaan. Menciutkan perbedaan bukan gerakan anti kekuasaan. Karena menciutkan perbedaan ini adalah usaha menguatkan kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat. Kekerasan yang terjadi dari waktu-waktu yang lampau terpicu dari banyak perbedaan dalam bermasyarakat. Mencuatnya perbedaan masyarakat melemahkan negeri kuat ini. Dan situasi ini bisa lebih memudahkan pelecehan-pelecehan dalam perampasan budaya, perampasan wilayah, dan pelecahan lain dari negara lain.
Tidak mudah untuk menciutkan perbedaan karena memang. Namun mencuatkan perbedaan akan lebih sulit bila masyarakat negeri ini memiliki keinginan kuat untuk mau mencoba dalam usaha-usaha menciutkan perbedaan itu. Forum-forum pendidikan sosial, budaya, politik dan ekonomi melalui forum-forum simposium, seminar, diskusi bahkan simulasi dan sebagainya, dapat melahirkan kepemimpinan kearifan lokal yang menciutkam perbedaan. ath/konstantin
Di sisi lainnya, bila melihat pengalaman dari Kerajaan Belanda selama berabad-abad memerintah di atas negeri ini, tampaknya pemimpin demi pemimpin di atas negeri lebih giat menerapkan pola kepemimpinan kolonial. Keberagaman yang rentan akan konflik, tampaknya bisa menjadi alat efektif untuk kepentingan kekuasaan. Bila sekilas, tampak sebagai ketidakmampuan kepemimpinan. Namun apakah benar akibat ketidak mampuan pengelolaan keberagaman dapat dengan mudah menjadi kekayaan elemen instrumen kekuasaan penguasa?
Perbedaan turun temurun yang telah lama ada dalam masyarakat negeri ini, yang bisa jadi perbedaan itu tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang penting dalam hubungan bermasyarakat. Namun waktu-waktupun bergulir, merubah kondisi masyarakat negeri ini. Perbedaan jadi sangat penting, dan menjadi barang yang sangat sensitif dalam bermasyarakat. Perbedaan dalam masyarakat yang dengan mudah mencuat mengindikasikan, sebenarnya dapat juga menciut. Namun apakah pengaruh yang timbul bila perbedaan itu mencuat atau perbedaan itu menciut.
Perbedaan yang mencuat dalam masyarakat negeri ini tentu telah menunjukan hasil selama ini. Kepentingan kelompok berbeda bisa menghasilkan pembunuhan masal yang membabi buta. Perbedaan yang mencuta itu juga bisa melahirkan pengrusakan bangunan tempat beribadah kelompok berbeda yang lainnya. Perbedaan yang mencuat itu juga bisa membuat kelompok yang membutuhkan lahan menyingkirkan sekelompok masyarakat yang telah lama hidup di atas lahan.
Begitu banyak pertumpahan keringat hingga darah dari mencuatnya perbedaan yang saat ini, tampaknya menjadi sesuatu yang penting, bahkan terlegalisirkan negara. Namun disadari atau tidak, perbedaan yang mencuat ini telah menorehkan catatan perjalanan panjang dari sebuah keberhasilan. Keberhasilan pengelolaan perbedaan dalam kehidupan masyarakat di negeri ini, membuat Pemerintah Kerajaan Negeri Kincir Angin berhasil berangin-anginan di atas negeri ini selama 350 tahun!!
Proses pengenalan identitas dasar sebagai bangsa sebuah negara kepada masyarakat negeri ini, tampaknya tertangani dengan baik. Keberagaman yang dulu digunakan Belanda sebagai kelemahan yang menguatkan kekuasaan masih bergulir sampai sekarang. Namun pola ini sepertinya kian menjadi kompleks, lantaran seluruh gerak dan langkah dinilai dari sudut pandang berbeda dan pada akhirnya akan terus menggulirkan gelimpangan korban meninggal.
Masyarakat negeri ini sudah seharusnya menyadari bahwa, perbedaan di negeri ini akan selalu bersanding dengan kehidupan bermasyarakat di negara ini. Perbedaan suku bangsa, perbedaan ideologi kekuasaan, perbedaan tingkat sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan kebutuhan ekonomi dan pelbagai perbedaan lainnya. Selama sejarah bergulir bersamaan perjalanan waktu yang dilintasi negeri ini, negeri ini pernah melahirkan konsep Bhinneka Tunggal Ika pada tahun 1928.
Seharusnya bersamaan bergulirnya waktu, konsep Bhinekatunggal Ika bisa kian menguat dan bukan memudar. Hal ini seiring dengan harapan bahwa perbedaan itu kian menciut, bukan mencuat. Menciutnya perbedaan akan mencuatkan gerakan kesatuan dan penyatuan perbedaan dalam masyarakat. Gerakan ini pernah teruji sebagai gerakan yang mengungkapkan kekuatan masyarakat terhadap kesewenangan permainan kekuasaan. Penyatuan perbedaan suku dan etnis mencuatkan kesamaan sebagai bangsa di Nusantara, yang bisa menciptakan negara bagi masyarakat di negeri ini.
Dengan waktu-waktu yang bergulir menyerta masyarakat di negeri ini, baik di masa pendudukan Jepang, usaha pendudukan kembali oleh Kerajaan Belanda, penciutan perbedaan keimanan di tahun 1965, hingga penciutan perbedaan strata sosial di tahun 1998. Penyatuan kekuatan masyarakat terhadap kesemenaan kekuasaan melalui pola mencuatkan perbedaan, akan mudah menghardikan pola-pola kekuatan kekuasaan yang sebenarnya sedang mempermainkan nyawa-nyawa anggota keluarga dari masyarakat negeri ini.
Menciutkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat, akan memudahkan masyarakat negeri ini kembali membangun kekuatan masyarakat dengan menemukan titik temu antar masyarakat dalam hubungan bermasyarakat. Sudah sewajarnya sebagai masyarakat yang berke-Tuhan-an, masyarakat negeri ini harus menerjemahkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai umat manusia di dunia dengan melakukan tindakan yang bukan hanya mewujudkan hubungan dengan tindakan sebatas memberikan sumbangan pada orang yang membutuhkan, atau hanya berbuat baik pada orang yang sering memberikan uang saja.
Lebih dari itu, tindakan-tindakan memberi dan menerima itu harus bisa dilanjutkan dengan adanya rasa saling perduli dengan sesungguhnya dengan saling mengerti tentang usaha masing-masing untuk bertahan hidup dan pengembangannya. Sikap yang secara tidak langsung mendorong masyarakat saling mengerti ketergantungan masing-masing dan ketergantungan bersama pada alam lingkungannya. Dengan terciptanya hal ini, masyarakat tidak akan lagi saling tuding sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab, atas struktur kehidupan antar masyarakat ataupun dengan lingkungan alam sekitarnya.
Kearifan lokal yang adalah bisa menjadi pemimpin masyarakat dalam membangun dan menciptakan harmonisasi masyarakat negeri-negeri di atas Nusantara ini. Kearifan lokal tidak bisa dicurigai sebagai sikap menolak kekuatan atau kekuasaan yang lebih luas. Kearifan lokal juga bisa dijadikan pemimpin terpercaya sebagai elemen harmonisasi masyarakat yang merenda kekuatan masyarakat, guna menghindari pengaruh instrumen kekuatan kekuasaan yang acapkali hadir, dan sekonyong-konyong mencuatkan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Menciutkan perbedaan memang tidak semudah mencuatkan perbedaan. Menciutkan perbedaan bukan gerakan anti kekuasaan. Karena menciutkan perbedaan ini adalah usaha menguatkan kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat. Kekerasan yang terjadi dari waktu-waktu yang lampau terpicu dari banyak perbedaan dalam bermasyarakat. Mencuatnya perbedaan masyarakat melemahkan negeri kuat ini. Dan situasi ini bisa lebih memudahkan pelecehan-pelecehan dalam perampasan budaya, perampasan wilayah, dan pelecahan lain dari negara lain.
Tidak mudah untuk menciutkan perbedaan karena memang. Namun mencuatkan perbedaan akan lebih sulit bila masyarakat negeri ini memiliki keinginan kuat untuk mau mencoba dalam usaha-usaha menciutkan perbedaan itu. Forum-forum pendidikan sosial, budaya, politik dan ekonomi melalui forum-forum simposium, seminar, diskusi bahkan simulasi dan sebagainya, dapat melahirkan kepemimpinan kearifan lokal yang menciutkam perbedaan. ath/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.