Sudahkah gereja mengambil peran dalam isu perubahan iklim? Kalau belum, bergegaslah sebelum semakin tertinggal dalam merespon perubahan iklim yang menjadi topik global belakangan ini. Sebuah momentum telah hadir untuk mengingatkan gereja dalam menyikapi perubahan iklim yang berlangsung ini. Momentum itu adalah Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan dua organisasi keagamaan terbesar dari masing-masing keyakinan yaitu; Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan Meneg L H Gusti Muhamad Hatta dengan Ketua Umum PGI Andreas Yewangoe dan Ketua Umum NU Said Agil Siraj dalam pembukaan Pekan Lingkungan Hidup Indonesia di awal Juni 2011. Hatta mengatakan pihaknya sengaja merangkul dua organisasi tersebut demi peningkatan peranan komunitas keagamaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hatta menilai komunitas keagamaan adalah mitra dan agen strategis dalam berpartisipasi menghadapi dampak-dampak perubahan iklim. Penyelenggara pekan Lingkungan Indonesia 2011 yang bertema “Hutan Penyangga Kehidupan” ini, menyisipkan beberapa seminar yang melibatkan kalangan dari kedua agama itu. Salah satunya adalah “Peran Gereja dan Perubahan Iklim”, dimana Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta) Pendeta Robert P Borong menjadi pembicara dalam seminar.
Dalam seminar itu, Borong mengatakan bahwa secara keseluruhan gereja belum sadar dalam mengetahui isu-isu berkembang di seputar perubahan iklim. Itulah sebabnya banyak gereja yang belum memiliki program untuk perubahan iklim. Borong yang aktif dalam berbagai diskusi dan aksi kegiatan perubahan iklim, mengatakan pada tataran gereja-gereja yang mengalami langsung dampak perubahan iklim saja yang memiliki program menghadapi perubahan iklim. Gereja-gereja yang dimaksud itu adalah gereja-gereja yang tak jauh dari pantai atau yang mengalami banjir karena air laut pasang, atau yang penghidupan jemaatnya di sektor perikanan.
Borong berpendapat bahwa saat ini gereja-gereja belum terlambat untuk merespon perubahan iklim. Sebab itu ia mendorong PGI untuk lebih gencar berkoordinasi dengan anggotanya agar berbuat dalam menghadapi perubahan iklim. Dan koordinasi yang dicapai saat ini diakui Borong masih perlu peningkatan. Berbagai seminar dan workshop yang merumuskan langkah bersama dalam menghadapi perubahan iklim, diharapkan bisa bisa merekatkan perbedaan gereja dengan semangat Oikumenis. Jadi, saat gereja-gereja tidak sepaham dalam memahami beberapa hal, tapi gereja-gereja bisa sepaham dalam menghadapi perubahan iklim ini.
Salah satu gereja yang telah mereson perubahan iklim ini adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kemang Pratama, Bekasi, Jawa Barat. Jemaat gereja ini giat melakukan aksi-aksi kecil yang diharapkan berdampak besar dalam menghadapi perubahan iklim. Aksi kecil itu antara lain memahami, bagaimana sampah plastik atau kertas bekas dipandang bersama sebagai benda yang dapat didaur ulang untuk menciptakan benda-benda bentuk lain. Contoh lain, ketika hari raya besar seperti Paskah dan Natal, di gereja akan mudah dijumpai tata panggung atau dekorasi yang berbahan baku barang-barang bekas. “Suatu waktu, kami merangkai puluhan botol besar air minum mineral untuk membuat palungan dan kandang domba,” ungkap Pua mengakhiri pembicaraan. jay/ath/konstantin
Penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan Meneg L H Gusti Muhamad Hatta dengan Ketua Umum PGI Andreas Yewangoe dan Ketua Umum NU Said Agil Siraj dalam pembukaan Pekan Lingkungan Hidup Indonesia di awal Juni 2011. Hatta mengatakan pihaknya sengaja merangkul dua organisasi tersebut demi peningkatan peranan komunitas keagamaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hatta menilai komunitas keagamaan adalah mitra dan agen strategis dalam berpartisipasi menghadapi dampak-dampak perubahan iklim. Penyelenggara pekan Lingkungan Indonesia 2011 yang bertema “Hutan Penyangga Kehidupan” ini, menyisipkan beberapa seminar yang melibatkan kalangan dari kedua agama itu. Salah satunya adalah “Peran Gereja dan Perubahan Iklim”, dimana Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta) Pendeta Robert P Borong menjadi pembicara dalam seminar.
Dalam seminar itu, Borong mengatakan bahwa secara keseluruhan gereja belum sadar dalam mengetahui isu-isu berkembang di seputar perubahan iklim. Itulah sebabnya banyak gereja yang belum memiliki program untuk perubahan iklim. Borong yang aktif dalam berbagai diskusi dan aksi kegiatan perubahan iklim, mengatakan pada tataran gereja-gereja yang mengalami langsung dampak perubahan iklim saja yang memiliki program menghadapi perubahan iklim. Gereja-gereja yang dimaksud itu adalah gereja-gereja yang tak jauh dari pantai atau yang mengalami banjir karena air laut pasang, atau yang penghidupan jemaatnya di sektor perikanan.
Borong berpendapat bahwa saat ini gereja-gereja belum terlambat untuk merespon perubahan iklim. Sebab itu ia mendorong PGI untuk lebih gencar berkoordinasi dengan anggotanya agar berbuat dalam menghadapi perubahan iklim. Dan koordinasi yang dicapai saat ini diakui Borong masih perlu peningkatan. Berbagai seminar dan workshop yang merumuskan langkah bersama dalam menghadapi perubahan iklim, diharapkan bisa bisa merekatkan perbedaan gereja dengan semangat Oikumenis. Jadi, saat gereja-gereja tidak sepaham dalam memahami beberapa hal, tapi gereja-gereja bisa sepaham dalam menghadapi perubahan iklim ini.
Salah satu gereja yang telah mereson perubahan iklim ini adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kemang Pratama, Bekasi, Jawa Barat. Jemaat gereja ini giat melakukan aksi-aksi kecil yang diharapkan berdampak besar dalam menghadapi perubahan iklim. Aksi kecil itu antara lain memahami, bagaimana sampah plastik atau kertas bekas dipandang bersama sebagai benda yang dapat didaur ulang untuk menciptakan benda-benda bentuk lain. Contoh lain, ketika hari raya besar seperti Paskah dan Natal, di gereja akan mudah dijumpai tata panggung atau dekorasi yang berbahan baku barang-barang bekas. “Suatu waktu, kami merangkai puluhan botol besar air minum mineral untuk membuat palungan dan kandang domba,” ungkap Pua mengakhiri pembicaraan. jay/ath/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.