3.5.10

Mengapa Begini, Mengapa Begitu? : ADPN...?

*Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010

Ada Apa Dengan Pendidikan Nasional? Itu adalah kepanjangan dari 4 huruf yang menjadi judul tulisan ini. Sebuah pertanyaan yang mungkin mewakili isi kepala banyak orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) Sebuah pertanyaan yang mungkin dilontarkan hampir oleh semua orang yang ada di belahan nusantara saat Hari Pendidikan Nasional datang lagi kemarin. Ada Apa Dengan Pendidikan Nasional? Mengapa banyak murid yang tidak lulus Ujian Nasional terkini? Mengapa mereka jeblok di pelajaran Bahasa Indonesia? Mengapa masih banyak murid atau pelajar atau mahasiswa yang bertarung di jalan alias tawuran?
Mengapa tidak sedikit 'orang-orang terdidik' dengan titel segambreng yang terlibat perkara pidana korupsi? Mengapa banyak guru-guru yang bertindak kasar terhadap murid mereka (bahasa kerennya: bullying)? Mengapa tidak sedikit pula dokter yang malpraktik? Mengapa juga banyak sarjana hukum kita bukannya menjadi penegak hukum dan keadilan, tapi justru tergiur oleh nafsu akan uang? Mengapa begini, mengapa begitu? Ada Apa Dengan Pendidikan Nasional?
Bagi Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membantu manusia lebih manusiawi dan lebih berbudaya menyangkut seluruh keberadaan manusia. Keberadaan manusia itu antara lain daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif) dan daya karsa ( konatif). Secara umum, mungkin pemikiran Bapak Pendidikan Nasional adalah (dalam bahasa Inggris) : Educate The Head, The Heart, and The Hand! Bila bangsa ini mau mendapatkan manusia yang unggul, maka bangsa ini mesti mengusahakan semaksimal mungkin pendidikan yang utuh mulai dari 'kepala' (otak), 'hati' dan 'tangan' yang mewakili daya cipta manusia di dunia. Ketika bagian itu mesti diupayakan secara seimbang. Namun apa lacur saat ini, saat perkembangan zaman (khususnya teknologi) justru meninggalkan perkembangan 'hati/rasa' bangsa ini dan kedalaman 'karsa/keyakinan' yang seharusnya ada seimbang dalam diri seorang manusia. Atau saat kedalaman 'karsa' justru mengurangi daya cipta dan rasa seseorang.

Cipta
Kata ini mewakili kecerdasan otak atau intelektual seorang manusia. Bagaimana ia memaksimalkan daya pikirnya untuk menciptakan sesuatu hal yang berguna. Cipta adalah kemampuan seseorang untuk mengimplementasikan teori pelajaran dalam sebuah hasil karya. Dari sebuah hal yang tiada menjadi ada, itu adalah daya cipta. Seorang psikolog asal Perancis, Alfred Binet pada akhir abad 19, menemukan sebuah tes intelektual yang lebih dikenal dengan sebutan IQ Test (Intelligence Quotient). Secara umum, tes tersebut akan menemukan kekuatan atau kelemahan intelektual seseorang dalam menyerap dan mempraktekkan kurikulum pelajaran di dunia pendidikan. Pada prakteknya, seseorang dengan IQ tinggi umumnya disebut cerdas, pintar ataupun pandai. Sementara, yang jeblok dalam uji intelektual itu pasrah saja bila disebuh IQ jongkok (sampai sekarang masih bingung entah mengapa kok sebutan ini muncul...)

Dalam perkembangannya, saat ini kualitas seseorang yang diuji dalam sebuah IQ Test ternyata belum cukup. Ketidakcukupan ini secara umum bisa dilihat betapa banyak manusia dengan nilai IQ tinggi, justru menjadi penjahat kelas kakap, atau tak sedikit orang cerdas yang justru terkucil dari lingkungan sosial mereka. Bahkan, dalam hal kepercayaan, semakin cerdas seseorang, maka ia kemungkinan besar akan mempertanyakan agama/keyakinannya tentang Tuhan.

Rasa
Hal yang berikutnya dari sejumlah daya yang dimiliki manusia adalah daya rasa (afektif). Sebuah daya yang merupakan hasil dari interaksi manusia dengan manusia lain. Saat manusia menjalankan hakekatnya sebagai mahluk sosial, maka daya ini akan menjadi ujung tombak dalam berelasi. Bagaimana reaksi manusia dalam menanggapi aksi seseorang, bagaimana sikap hati mereka saat menerima/mengalami suatu kondisi tertentu di hidupnya, kurang lebih itu yang ada dalam lingkup afeksi.

Di era 90-an, seorang penulis, jurnalis sains sekaligus seorang psikolog asal Amerika Serikat menyusun sebuah buku berjudul “Emotional Intelligence” (1995, Bantam Books), Daniel Goleman namanya. Ia berpendapat bahwa selain IQ, seorang manusia membutuhkan sebuah kemampuan non-kognitif untuk bisa meraih sukses di tempat kerja. Kemampuan itu adalah kemampuan mengolah emosi diri, dalam hal ini Daniel menyebut kemampuan itu sebagai Emotional Intelligence. Kecerdasan emosional, demikian disebut Daniel sebagai faktor berpengaruh dalam menentukan keberhasilan seseorang (Emotional Quotient/EQ) Kecerdasan emosional yang baik menentukan seseorang bisa berinteraksi maksimal dengan lingkungannya. Seseorang dengan EQ tinggi secara umum dapat diidentifikasi dalam pribadi yang memiliki banyak teman, banyak disukai orang karena mudah bergaul dan kehadirannya sangat berdampak buat lingkungannya. Teori EQ lebih digali lagi oleh Goleman dalam bukunya “Social Intelligence: The New Science of Human Relationships” (2006, Bantam Books). Kecerdasan emosi seseorang dinilai dari bagaimana ia mampu mengendalikan emosinya dalam sebuah lingkungan sosial.

Karsa
Pernah dengar ungkapan ini, “Manusia cuma bisa berencana, tapi Tuhan saja yang menentukan” ? Ya, ungkapan ini ingin bercerita tentang fitalnya peranan Tuhan sebagai Sang Khalik dari seluruh umat manusia di bumi ini. Dia adalah sentral dari kehidupan seluruh mahluk (termasuk manusia), kecuali bagi orang-orang yang tidak percaya adanya Tuhan (atheisme) Nah, dalam pribadi manusiapun unsur daya karsa mengambil peranan penting dalam menentukan keberhasilan manusia berhasil dalam suatu bidang kehidupan. Setelah IQ dan EQ menemukan hakekat manusia dalam sektor neuroscience (pengetahuan tentang otak manusia dan kompetensinya), daya karsa menempatkan faktor Tuhan (oleh ahli syaraf asal India, V. Ramachandran disebut God's Spot, dalam bukunya “Phantoms in The Brain: Probing the Mysteries of the Human Mind” - 1998)

Terinspirasi dari kehidupan para Lama di kawasan Tibet, seorang filsuf dan ahli fisika modern asal Negeri Paman Sam, Dannah Johar, menyusun formula Spiritual Intelligence atau kecerdasan spiritual. Bersama suaminya Ian Marshall, Dannah menulis buku “Spiritual Capital: Wealth We Can Live By” sebagai dasar dari Spiritual Quotient (SQ) Sebuah temuan pemikiran yang menghadirkan 'missing link' dari pemberdayaan IQ dan EQ dalam hidup seorang manusia.

Cipta-Rasa-KarsaKetiga daya yang dimiliki oleh seorang manusia ciptaan Tuhan ini mesti mendapat proporsi yang seimbang dalam proses pendidikan nasional. Mengapa? Karena ternyata tak cukup manusia hanya dibekali ilmu pengetahuan saja (IQ), juga belum afdol bila manusia hanya pandai bergaul dan stabil emosinya (EQ), demikian juga manusia pun tak lengkap bila hanya menyerahkan utuh hidupnya dalam daya karsanya (SQ) Ketiganya mesti dikembangkan secara seimbang, tidak berurutan atau daya tersebut tidak mutlak mesti diberdayakan sesuai urutan di atas, tapi yang penting proporsionalitasnya mesti dijaga.

Ketiganya disebut dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai 'kecerdasan' yang mesti dimiliki bangsa Indonesia. Sehingga muncul ungkapan 'Mencerdaskan kehidupan bangsa' sebagai salah satu amanat para tokoh tempo dulu (khususnya Ki Hajar Dewantara) untuk dilakukan oleh seluruh elemen bangsa ini pada masa kini. Kehidupan bangsa yang cerdas secara intelektual (IQ), emosional (EQ), dan juga spiritual (SQ), secara utuh dan menyeluruh.

Kita sebagai sebuah bangsa bisa merasa bangga, karena semua teori mutakhir dalam dunia pendidikan modern, ternyata sudah terpikirkan dan 'ditemukan' terlebih dahulu oleh para pendiri bangsa. Karena itu, sudah selayaknya di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 ini, kita pun menghormati nilai-nilai luhur bangsa ini (baca: bukan nilai-nilai bangsa lain) dengan kembali pada khittah bangsa (baca: kita semua warga negara Indonesia, termasuk pemerintah) ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, baik secara cipta, rasa dan karsa. Mengacu pada cita-cita Ki Hajar Dewantara dulu, bila semua itu disadari dan dilakukan, niscaya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa dengan masa depan yang gemilang.

Namun bila saat ini kita masih belum bisa menemukan bangsa ini cerdas dan berdaya, mungkin kita mesti sadar kalau kita belum benar-benar memahami makna Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara pun sepertinya keberatan kalau kita hanya melakukan tabur bunga belaka di kompleks Makam Wijaya Brata, Celeban Umbulharjo Yogyakarta, tanpa mengamini seluruh warisan pemikirannya dalam praktek sehari-hari.

Sebuah Epilog
Saat ini, di era serba canggih ini, dunia pendidikan cenderung mengangkat ukuran 'to have' alias apa saja materi yang dimiliki (harta kekayaan), dan ukurang 'to do' atau apa saja yang berhasil/tidak berhasil dilakukan (manfaat atau mudharat) Alhasil, biaya pendidikan merangkak naik dengan pasti, yang miskin pun urung terdidik, para pelaku tindak kriminal pun yang seharusnya dididik untuk kembali menjadi baik seolah tak punya celah tobat lagi di mata manusia, karena mereka dipandang gagal berguna buat masyarakat ini (karena nila setitik, rusak susu sebelanga), amarah pun terpapar gamblang di jalan melalui tawur massal, negara yang ramah tamah pun menjadi negara yang 'ramah' (rajin menjamah dengan memukul, merampas, memperkosa orang lain) Manusia melihat manusia sebagai 'sasaran' untuk diperdaya secara intelektual, emosional, dan spiritual. Yang paling terbuka, kita lihat bagaimana perilaku para pemimpin, pendidik, dan tokoh spiritual, yang seharusnya menganut Ki Hajar Dewantara punya prinsip: Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo mangun Karso, Tut Wuri Handayani                                                                 petra_yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.