16.3.10

Masih ada Pelarangan Buku di era Reformasi Indonesia

Di masa Kolonial Belanda tahun 1913 Ki Hadjar Dewantoro, pernah dibuang ke negeri Belanda, lantaran menerbitkan buku tipis yang mengkritisi Pemerintah Hindia Belanda, saat ingin merayakan 100 tahun Kemerdekaan Belanda atas penjajahan Prancis di wilayah Hindia Belanda. Tulisan dalam buku Ki Hadjar Dewantoro melihat suatu hal yang ironis, bila Pemerintah Belanda merayakan Kemerdekaan diatas tanah yang dijajahnya. Itulah pemikiran berseberangan dari seorang bangsa jajahan dengan penguasa yang menjajahnya. Dan pemikiran yang berseberangan tersebut dapat dimaklumi, bila kita menyadari bahwa pemikiran bangsa Indonesia berbeda dengan pemikiran bangsa Belanda yang menjajah saat itu. Namun ternyata hal-hal pelarangan pemikiran yang dialami Ki Hadjar Dewantoro saat negeri ini terjajah, juga dialami bangsa ini lagi, di masa kemerdekaan.


Pada masa kemerdekaan negeri ini, bukan berarti para penulis buku mengalami hal yang berbeda berekspresi di dengan pada masa penjajahan Bangsa Belanda. Pramoedya Ananta Toer misalnya, menjadi orang pertama yang mengalami pelarangan menuangkan pemikiran pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang distigmakan dengan sebutan Orde Lama. Ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Hoakiau, yang mengkritisi tentang tentang pembatasan hak berdagang orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Pada masa itu, menurut sejarahwan dari LIPI, Asvi Warman Adam, sekitar tahun 50 an ada kebijakan dari pemerintah untuk membatasi orang-orang keturunan Cina, yang dilarang melakukan kegiatan dagang pada tingkat kecamatan ke bawah. Saat itu orang Indonesia keturunan China hanya boleh berdagang di tingkat kecamatan keatas saja. Di desa-desa dan kelurahan, rakyat Indonesia yang kebetulan keturunan China dilarang melakukan kegiatan berdagang.

“Dan Pramoedya Ananta Toer menganggap ini diskriminasi,” begitu Asvi mengisahkan. Kemudian Asvi juga menyatakan bahwa buku ini dilarang dengan alasan sebagai pemikiran yang menjual bangsa kepada negeri China.

Itu adalah satu contoh dari 70 an judul buku yang dilarang oleh pemerintahan Orde Lama. Dan seperti yang kita ketahui, budaya larang melarang suatu terbitan buku terus berlanjut pada pemerintahan Presiden Soeharto, masa rezim Orde Baru. Bahkan menurut Asvi Warman Adam, Pemerintahan Orde Baru juga melanjutkan budaya pembungkaman pemikiran lewat buku. Orde Baru juga melarang 70 an judul buku yang saat itu masih berstatus dilarang. 70 an judul yang pada tahun 1959 dilarang, pada tahun 1965, setelah pecah Gerakan 30 September, tepatnya pada bulan Desember (tahun 1965-red), buku-buku tersebut kembali dilarang. Sekalipun buku-buku itu, ditulis jauh sebelum G 30 S.

”Jadi buku-buku Pram yang ditulis pada masa revolusi misalnya, yang tidak ada hubungannya dengan G 30 S, juga dilarang” demikian Asvi Warman Adam memaparkan. Bahkan, menurut Asvi, pelarangan masa rezim Orde Baru, pelarangan tidak hanya menimpa buku-buku, tapi juga penulisnya. Banyak sekali penulis buku yang dilarang menulis pemikirannya lagi.

Dalam wawancara tersebut, pemikiran awal yang tercuat adalah ; pelarangan suatu pemikiran melalui buku, hanya terjadi pada buku dan para pemikir yang memiliki ideologi berseberangan dengan penguasa. Namun ternyata lebih dari itu, banyak ada juga buku-buku yang tidak bersinggungan sama sekali dengan perpolitikan, juga mengalami peelarangan. Misalnya buku yang berjudul Adik Baru, buku komik tentang pendidikan seks untuk anak, yang dianggap terlalu kontroversi dengan alasan pendidikan seks tidak boleh menggunakan kata-kata yang vulgar.

”Lalu juga, kalau kita inget buku Madam Syuga, buku tentang Photobiography,” demikian papar Atnike Nova Sigiro, Koordinator Kampanye ELSAM.

Namun secara umum di belahan dunia manapun, memang diperbolehkan terjadinya suatu pelarangan terhadap buku. Menurut Asvi Warman Adam, buku-buku yang disepakati secara global adalah buku-buku yang memiliki kriteria yang menganjurkan kekerasan, dan yang menganjurkan peperangan dan sejenisnya.

“Kalau tidak dilarang, paling tidak diajukan ke pengadilan agar masyarakat tidak membacanya” demikian tambah asvi Warman Adam

Dan pada masa Reformasi, pelarangan buku telah hilang di tahun 1998 sampai tahun 2005. dan pada tahun 2006 pelarangan buku kembali terjadi di masa Reformasi Indonesia.

“Tahun 98, pada era reformasi sampai 2005, itu tidak ada pelarangan” demikian ungkap asvi.

“Dan yang parahnya adalah pada tahun 2007, yang dilarang adalah pelarangan buku pelajaran sekolah.” demikian Asvi menambahkan.

Pelarangan tersebut, lantaran buku pelajaran itu tidak memuat peristiwa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1948 dan tahun 1965. Dan secara ekstrim, pemerintah bukan hanya melarang dan juga memburu hingga ke gudang penerbit, untuk di sita dan dibakar. Jadi buku pelajaran tersebut disamakan dengan minuman keras dan barang-barang NAZA yang disita. Suatu yang ironis bagi negara yang menggembar-gemborkan diri sebagai negara demokrasi nomer tiga dunia. Demokerasi yang hanya tercuat pada masa pemilihan umum ini, kian tampak diperlukannya perbaikan dalam kehidupan keseharian.                                         ath/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.