Ya, jika aku seorang Presiden Republik Indonesia...
Aku memiliki banyak waktu buat turun ke bawah alias turba, dengan modus penyamaran yang canggih. Sehingga aku tidak dikenali oleh orang-orang di luar istana, bahkan isteriku pun pangling sesaat. Dan tentunya, pengamanan 'melekat' dari para pengawalku yang sudah sangat terlatih untuk tidak diketahui secara kasat mata.
Aku akan berkunjung ke pelosok daerah. Ya walaupun pembantuku sudah sering ke sana, tapi saya merasa tidak ada salahnya saya pun memeriksa ulang kondisi di sana.
Karena, konon kabarnya inspeksi mendadak para pembantuku sering kali 'bocor' dan diketahui oleh para pejabat daerah itu. Jadi, bukan fakta yang terlihat, tapi kondisi penuh gincu yang dipaparkan. Demikian juga kunjungan ke pusat-pusat pelayanan umum, seperti pembuatan KTP, SIM, Akta Catatan Sipil, imigrasi, dan lainnya.
Karena, konon kabarnya inspeksi mendadak para pembantuku sering kali 'bocor' dan diketahui oleh para pejabat daerah itu. Jadi, bukan fakta yang terlihat, tapi kondisi penuh gincu yang dipaparkan. Demikian juga kunjungan ke pusat-pusat pelayanan umum, seperti pembuatan KTP, SIM, Akta Catatan Sipil, imigrasi, dan lainnya.
Buat apa sih? Ya supaya saya melihat sendiri dengan mata dan merasakan sendiri dengan hati, penderitaan rakyat Indonesia, rakyat yang memilih saya itu. Karena saya heran, kok sejak dulu sampai sekarang, masih banyak masalah yang sama tetap terjadi. Misalnya, catatan sipil dengan biaya super tinggi (padahal murah, bahkan gratis di sejumlah tempat), orang-orang ber-KTP ganda, bahkan kuartet alias punya 4 kartu identitas berbeda. Lalu, praktek transaksi keuangan yang seharusnya tak ada di kantor imigrasi dan pembuatan SIM. Huh, terus terang itu semua bikin saya sedikit kesal, apa sih sebenarnya kerja presiden-presiden sebelum saya? Kok masalah itu tetap ada di sana....
Bicara soal daerah, aku akan pergi ke ujung-ujung nusantara. Ingat ya, aku akan pergi, itu berarti secara fisik aku akan hadir dan merasakan kondisi nyata kehidupan rakyatku di sana, bukan lewat komunikasi langsung jarak jauh, atau bahasa Inggrisnya teleconference (ah, mengapa sih para pejabat itu suka sekali menggunakan bahasa asing, padahal bahasa Indonesia itu kaya loh... ah!) Nah, di sana pun aku akan membuktikan sendiri, apa benar kata para pembantuku kalau pembangunan nasional itu sudah merata dari Sabang hingga Merauke, dari Timor hingga Talaud? Apa benar para rakyat di sana sudah mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? Apa benar kesejahteraan mereka sudah diperhatikan? Karena kok masih saja ada rakyat Indonesia yang justru kepengen jadi rakyat negara tetangga?
Aku akan pergi ke hutan-hutan, ke gunung dan bukit. Aku akan cari tahu mengapa kok hutan-hutan Indonesia makin gundul seperti kepala Upin-Ipin? Kok masih ada penambang yang tidak bertanggung jawab membuang limbah mereka ke sungai atau sama sekali tidak berwawasan lingkungan? Kok longsor makin mudah terjadi dan memakan korban jiwa banyak? Kalau harimau bisa bicara, aku juga akan ngobrol dengan dia selaku pejabat tertinggi di hutan belantara, “Mengapa banyak rakyatmu yang masuk desa, sehingga menakuti rakyatku?”
Khusus di ibukota, aku juga akan pergi ke terminal-terminal dan sekitarnya. Kabarnya di sana, sarangnya mafia atau calo atau oknum-oknum pemeras rakyat. Oknum petugas perhubungan ataupun oknum pak polisi sering kali mengutip duit dari kalangan supir dan kernet. Juga para pedagang kaki lima di sana, apalagi para preman alias orang-orang yang sok jagoan menindas yang lemah. Semua 'dipelihara' entah untuk apa. Padahal di sana sudah ada peraturan yang jelas, di trotoar tidak boleh ada pedagang kaki lima, bus dan angkutan kota tidak boleh berhenti dan mengambil penumpang sembarangan, para penumpang mesti naik di halte yang sudah disediakan, sementara para preman mesti diberangus tuntas. Semuanya kan sudah jelas tempat-tempatnya, dan itu semua diatur untuk sebuah ketertiban dan kenyamanan bersama. Ah, belum lagi asap rokok dimana-mana, lalu aroma minuman keras melayang bersama angin terminal, dan.... hmmpppfff! Bau pesing!
Aku akan menelusuri sungai-sungai, terutama yang ada di ibukota negara. Aku mau tahu apakah benar yang dibilang para pengamat dan kritikus kebijakan pemerintah itu, kalau banyak bantaran sungai yang seharusnya bersih dari bangunan, ternyata dimanfaatkan secara 'biadab', baik oleh rakyatku maupun oleh para oknum pembantuku di daerah. Kok ijin bangun membangunnya keluar ya untuk mal di bantaran sungai sana? Kok ada villa mewah di tepi sungai ya? Wah! Kok ada banyak permukiman di pinggir sungai ya? Pantes, kemarin saat banjir besar melanda ibukota, banyak rakyatku yang kehilangan tempat tinggal. Ternyata para korban itu kebanyakan ada di bantaran kali ya.
Aku akan naik kendaraan tanpa pengawal bermotor dan protokoler resmi. Sehingga aku bisa merasakan macet luar biasa di Jakarta ini, terutama saat hujan tiba. Mengapa kok bisa macet? Juga akan aku kumpulkan fakta-fakta tentang perilaku berlalu lintas para rakyatku. Mengapa kok motor dengan jumawa zig-zag di jalan raya? Mengapa kok bus kota dan angkutan kota merasa jadi raja jalanan? Mengapa eh.... mengapa kok masih banyak anak jalanan ya...? Uhm, bernafaspun sepertinya aku sulit sekali di saat jam sibuk ibukota negeriku ini, asap kendaraan bermotor plus asap rokok jadi satu.... Kok bisa begitu ya? Padahal tercantum jelas di anggaran nasional juga di anggaran daerah, tentang pendanaan pembenahan semua sektor itu, jumlahnya ndak sedikit loh, tapi mana dia rupanya? Duh! Kepalaku sakit! Kejedot atap mobilku...ooohhh ternyata jalanan berlobang, loh kok banyak sekali sih....?
Malam tiba, aku juga akan pergi ke tempat-tempat yang kabarnya menjadi lokalisasi tak resmi. Uhm, kok taman jadi tempat nongkrong remang-remang ya? Transaksi seks bebas di sana merebak, belum lagi aksi premanisme. Duh, itu kan pos polisi? Kok praktek-praktek itu bisa terjadi di depan hidung aparat keamanan ya? Weleh-weleh (aku seperti Komo saja nih...) ternyata ibukota Indonesia di malam hari tak kalah ramai ketimbang siang hari ya. Ah, masuk dulu sebentar ke dalam pub itu ah.... loh kok? Apa aku tak salah lihat nih? Itu kan.... waduh! Itu pembantuku di daerah ini, kan dia sudah beristri ya, kok masih peluk-pelukan dengan wanita-wanita itu ya?
“Heh, mas... minggir, jangan dekat-dekat bos saya...”, ujar seorang pria tinggir besar nan tegap berambut cepak. Dia berkata itu sambil memperlihatkan beceng di balik jaket hitamnya. Para pengawal setiaku sudah mau bergerak dari kejauhan, tapi untung bisa ku cegah.
“Eh, baik bos, maaf ya, ndak sengaja...”, ujar saya sambil beringsut ke luar pub.
Sampai di luar, saya tambah prihatin, karena satuan pengamanan pub itu mendekati saya dan berkata,
“Wah! Mas, untung ya loe... tidak dibri apa bodigar boss X... Dia kan anggota...” (anggota yang dimaksud adalah anggota militer)
“Pak, saya mau tanya, siapa sih boss X itu?”, tanyaku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Oh, pantes loe gak tahu ya? Dia kan Y...”, jawab satuan pengamanan itu sambil menyebut salah satu jabatan penting di kota besar ini.
Uhm, sudahlah. Aku berlalu dan menenangkan para pengawal setiaku, yang sedari tadi geregetan pengen nempeleng bodigar X tadi... hehehehe, cukup sudah perjalanan angan ini. Tinggal bikin langkah jitu pemberesan kondisi bangsa ini, juga aparatur negeri ini. Toh, semua yang ku saksikan dan ku rasakan, sudah tercatat rapi oleh sekretaris pribadiku yang ikutan bareng sambil terheran-heran,
“Duh, ini presiden nyentrik ya, bukannya meresmikan ini itu, bukannya pergi sana sini ke luar negeri, tapi kok malah dateng ke tempat-tempat ini...”
Jika aku seorang presiden Republik Indonesia...
Sehari setelah sejumlah kunjungan 'gelap' ku ke tempat-tempat rakyatku beraktivitas, aku akan panggil para pembantuku. Dan aku akan beberkan semua fakta yang kudapat... yang baik dan sudah baik, akan aku puji dan berikan 'penghargaan', sementara yang buruk dan sangat buruk buat rakyat, bakal aku kritik habis-habisan dan berikan 'penghukuman'...
Ah, jika aku seorang presiden Republik Indonesia.... namun sayangnya, aku bukan siapa-siapa... petra_yan / konstantin
*Tulisan ini menawarkan sebuah keluhuran lokal yang sebenarnya sudah ada
sejak dahulu kala raja-raja nusantara memerintah wilayah mereka masing-masing.
Ambil yang baik dan buang yang buruk...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.