Pada tanggal 22 Maret 2010, sebuah kegiatan jawab menjawab soal kembali digelar di dunia pendidikan menengah atas Indonesia. Sekitar 129.085 murid menengah atas berikhtiar mengerjakan soal-soal ujian sebisa mungkin dengan jujur. Ratusan murid itu terbagi menjadi siswa SMA sebanyak 59.775 anak, Madrasah Aliyah 4681 murid, SMA Luar Biasa ada 53 orang, dan SMK sebanyak 64.576 murid. Kegiatan itu bernama Ujian Nasional atau disingkat UN.
Di tengah gonjang-ganjing setuju dan tidak setuju penyelenggaraan UN, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan, ujian nasional merupakan metode terbaik untuk menentukan kelulusan siswa. Sehingga dia meminta kontroversi pelaksanaan ujian nasional diakhiri. Pemerintah tetap keukeuh menyelenggarakan UN untuk murid-murid SMA mulai hari ini 22 Maret hingga 26 Maret 2010, secara serentak di semua wilayah hukum Indonesia. Apa dasarnya?
Dasar hukum pelaksanaan ujian nasional termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 ayat (1) dan (2). Tetapi teknis penentuan kelulusan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah, ada 4 faktor kelulusan seorang siswa, yaitu bila siswa telah menyelesaikan semua mata pelajaran, lulus ujian akhir sekolah untuk mata pelajaran eksakta, lulus ujian akhir sekolah untuk mata pelajaran non-eksakta, serta siswa lulus ujian nasional. Terakhir, siswa dinyatakan lulus, bila memenuhi nilai standar yang ditetapkan Badan Standar Nilai Pendidikan (BNSP), yaitu 5,50 untuk UN 2010.
Ini berarti nilai standar mengalami kenaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini juga berarti siswa mesti berjuang ekstra keras pula untuk memenuhi nilai standar tersebut. Karena bila tidak, maka ancamannya adalah ketidakberlangsungan pendidikan mereka alias (bahasa sederhananya) tidak lulus, lalu tinggal kelas (kalau tidak mau langsung putus sekolah). Namun pertanyaan yang mencuat, di tengah gelora setuju tidak setuju UN dilaksanakan, adalah apakah kerja keras ratusan ribu siswa SMA itu sepadan dengan prospek masa depan mereka nantinya? Sudahkah pendidikan kita menjadi alat ukur sahih dari dunia kerja nasional? Atau jangan-jangan dunia kerja nasional sekarang justru menginginkan standar internasional punya?
Mengapa? Coba tengok, sejumlah rubrik lowongan kerja di berbagai macam media. Apa yang bisa dilakukan dan apa yang bisa didapatkan oleh seorang lulusan SMA dan sederajat misalnya? Memang sih, setelah itu mereka diharapkan bisa kembai berjuang di tingkat perguruan tinggi (baca:universitas), namun apakah itu juga menjamin masa depan mereka kelak? Mengapa kok masih saja banyak (dari ratusan siswa yang selalu ikut UN setiap tahunnya) yang tidak mendapat pekerjaan? Banyak alasan, salah satu yang banyak dilontarkan para pemilik modal alias para majikan di dunia kerja nasional, adalah tidak sesuai dengan kualifikasi atawa tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan. Lalu, bila adik-adik kita hanya lulusan SMA dan sederajat, maka hambatannya bukan saja masalah persyaratan, tapi nilai diri mereka.
Apakah selama di bangku Sekolah Menengah Atas, mereka ditempa untuk siap kerja atau hanya keilmuan semata tanpa gelaran praktek dunia kerja? Sepadan ndak sih, keringat yang bercucuran menjelang UN, dengan apa yang bakal mereka dapat kelak di dunia kerja? Atau mereka harus melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dulu? Itupun belum tentu juga bisa bekerja. Kalau yang punya uang sih bisa-bisa saja, tapi bagaimana siswa-siswi yang tidak didukung oleh ekonomi orang tua yang memadai? Apakah mereka mesti menganggur?
Sebagai catatan, tahun 2009 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai angka 9,43 juta orang. Sementara tahun ini (2010), diprediksi masih cukup tinggi, kurang lebih 8 hingga 10% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Ah! Perlukah polemik yang ada di sekitar UN? Atau jangan-jangan saat gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah... Selamat mengikuti UN, wahai adik-adikku, saudara sebangsa dan setanah air! Jangan cukup berpuas diri dengan nilai standar yang diterima nanti, pastikan diri untuk bisa langsung berguna buat masyarakat. Buat yang tidak memenuhi nilai standar, jangan putus asa, segera bangkit dari kesedihan dan perlengkapi diri dengan keterampilan siap pakai dan coba songsong dunia kerja nasional...
Ah! Apa arti tulisan ini? Mungkin hanya 40 murid sebuah Sekolah Menengah Atas di kawasan selatan Jakarta saja yang mendengar dan mengamini (karena saya pernah berbincang di sana), lalu selebihnya...? petra_yan/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.