Sebuah kota sejatinya adalah sebuah kawasan terpadu yang membuat para penghuni dan orang yang datang merasa nyaman dan terfasilitasi dengan baik. Selain itu, menurut Prof. Drs. R. Bintarto, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Secara umum, pengertian tersebut dapat diartikan sebuah kota berarti kawasan yang penuh dengan manusia yang berasal dari beragam latar belakang, dan perilaku yang dinyatakan sebagian besar mengacu pada hal-hal yang materialistik (karena kota cenderung diidentikkan dengan 'uang' dan 'kemewahan'
Jauh sebelum pengertian di atas disampaikan, Plato mengartikan kota sebagai sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasar pada hubungan manusia dengan sesamanya. Lebih jauh lagi, ia juga mendefinisikannya sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran. Secara umum, berdasarkan pengertian Plato, kota bisa dibahasakan sebagai tempat terbaik bagi para warganya (yang menetap ataupun tidak) untuk mewujudkan berbagai kepentingan mereka, mulai dari kepentingan untuk hidup dan berdomisili, kepentingan untuk bekerja atau belajar, hingga kepentingan untuk bermain ataupun melancong.
Bila dilihat dari pengertian Plato dan Bintarto, maka kita dapat membayangkan adanya persaingan yang ketat antar individu untuk bisa bertahan hidup. Sebuah persaingan yang sehat, sehingga memacu setiap individu untuk memberikan yang terbaik untuk diri, orang lain dan lingkungan mereka. Namun sayangnya, persaingan ketat tersebut, saat ini, cenderung diterjemahkan sebagai suatu keharusan untuk bertindak 'semau gue', yang penting diri sendiri nyaman, yang penting dapat untung sendiri, yang penting uang mengalir ke kantung pribadi. Bahkan, tidak sedikit orang yang memiliki paham 'yang kuat yang menang dan berkuasa', sehingga muncul ungkapan 'kaum marjinal' alias kaum yang terpinggirkan di sebuah kota sebesar Jakarta. Sebagai contoh, di ibukota negeri ini, kita akan sangat mudah menemukan daerah-daerah 'marjinal' di sela-sela pesatnya pembangunan kota ini. Bahkan itu bisa kita saksikan setiap hari di jalan-jalan raya Jakarta, maksud saya, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) di banyak titik jalan (biasanya di pertigaan, perempatan atau simpang jalan raya)
Nah, bicara soal PKL yang berada di pinggir jalan (atau bahkan ada di sejumlah tempat yang menyita jalan raya, sehingga laju lalu lintas tersendat), maka kita mesti bicara soal hubungan antar individu yang ada di Jakarta. Saya setuju dengan pendapat yang bilang pola interaksi penduduk Jakarta adalah 'yang kuat yang menang, yang berkuasa yang di atas' Mau bukti? Coba perhatikan kehidupan para PKL itu, bagaimana bisa mereka berdagang di pinggir jalan? Bagaimana bisa mereka menyita lajur lambat jalan raya? Bagaimana bisa mereka bertahan di lampu-lampu lalu lintas, di terminal angkutan kota, dan di stasiun kereta api dengan 'liar'? (saya sebut liar karena, jujur saja, memang ruas-ruas yang mereka tempati bukan untuk berjualan/berdagang)
Preman Jakarta
Sejumlah pertanyaan di paragraf sebelumnya, sepertinya bisa dijawab dengan menyebut keberadaan preman Jakarta. Siapa sih preman itu? Dari berbagai sumber, saya sarikan kata 'preman' berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang berarti orang bebas, merdeka. Sampai di sini sih kata 'preman' menjadi sebuah kata yang cenderung positif. Tapi dalam perkembangannya, kata 'preman' mendapat reduksi di sana-sini akibat perilaku yang jauh dari nuansa positif. Sehingga preman menjadi sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Dalam kata 'preman' melekat erat nuansa 'yang kuat yang menang, yang berkuasa yang di atas' dan bahkan tak jarang penggunaan kekerasan pun dimahfumi.
Dalam Halaman Metroplitan pada situs milik Kompas, Camat Grogol Petamburan, Tajudin Widodo, menyatakan bahwa, di sepanjang jalan S. Parman, Jakarta Barat banyak yang bermain di dunia PKL.
“Dari preman, ormas, hingga oknum aparat,” begitu ungkap Tadjudin. Bagi saya, ketiga elemen yang disebut Pak Camat itu sama saja, yaitu preman. Seorang kawan saya pernah bilang, saudaranya pernah menjadi salah satu preman yang ditakuti di daerah tersebut, tapi itu tidak lama, hanya satu tahun, karena setelah itu saudaranya kedapatan mati dibunuh orang tak dikenal. Alhasil, posisi saudara kawanku itu diganti oleh orang lain yang lebih kuat dan berkuasa. Ah, Jakarta!
Apa yang mereka (baca:preman) lakukan sehingga membuat ruwet Jakarta? Sudah terjawab sebetulnya dalam artikel yang menjadi link di atas. Mereka menjadikan kondisi menjadi kondusif untuk melanggar aturan, seperti menyita jalan raya, berdagang tidak pada tempatnya. Para pedagang bisa melanggar aturan asal mereka memberikan upeti buat para preman. Kalau tidak, maka kekerasan pun terjadi atau mereka tidak diijinkan mencari sesuap nasi di tempat tersebut (sudah banyak kasus kekerasan terjadi yang merugikan masyarakat marjinal, bahkan tidak sedikit pula kasus perebutan area preman antar dua kelompok misalnya)
Nah, kalau pernyataan Bapak Camat Grogol Petamburan itu benar adanya, maka ini akan sangat memprihatinkan bagi orang-orang yang peduli akan hidup aman dan nyaman di kota ini. Mulai dari preman partikelir, preman berseragam, hingga preman berkedok organisasi massa, semuanya seolah bersepakat membuat Jakarta ini ruwet. Dan ini terbukti di Grogol Petamburan, sangat menyulitkan penertiban dari aparat pemerintah kota Jakarta Barat. Ah, Jakarta!
Melihat kenyataan ini, sejatinya pemerintah kota dan dibekingi pemerintah provinsi, juga (kalau perlu) pemerintah pusat, mesti bersepakat pula untuk memberantas kesepakatan antar elemen preman tersebut. Jangan sampai kota metropolitan ini dikuasai preman yang hanya menjadi benalu bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia dan kota Jakarta. Untuk itu sangat dibutuhkan ketegasan dalam praktek peraturan daerah dan perundangan lainnya. Peraturan Daerah yang sudah dibuat untuk kemaslahatan masyarakat jangan sampai jadi macan kertas saja. Atau yang paling berbahaya, jangan sampai aparat pemerintah kota, pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, bertransformasi menjadi preman-preman baru. Henri Lefebvre mengungkapkan “To change life, we must first change space...” tapi saya menyerukan to change life, we must change our Space of our heart first, sir!" Salam Damai Selalu! petra_yan/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.