Tahun ini, 2010, entah perayaan Paskah ke berapa dalam hidup Anda? Yang pasti, dalam kehidupan saya, ini sudah lebih dari 30 deretan perayaan Paskah. Sebuah perayaan kebangkitan Yesus dari kematian. Yesus yang adalah Tuhan dan Juruselamat, berkuasa mengalahkan maut, bangkit dan naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dan akan datang dari sana, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Setidaknya demikian sekelumit pengakuan iman percaya saya. Entah bagaimana iman percaya Anda terucap?
Tahun ini, 2010, kembali pertanyaan besar muncul dalam benak saya: Mengapa kok hanya Paskah yang dirayakan atau diperingati? Mengapa kok institusi keagamaan Kristen sering kali hanya mengeluarkan Pesan Paskah? Lalu kemana perginya Pesan Jumat Agung?
Paskah, seperti kita ketahui bersama, adalah peristiwa kebangkitan Yesus. Di hari yang ke-3 usai kematianNya di kayu salib, Yesus bangkit. Sejumlah muridNya menjadi saksi kebangkitan saat penampakan Yesus, diawali oleh Maria Magdalena. Dari salah satu release Pesan Paskah yang saya terima (dari institusi keagamaan Kristen yang besar di Indonesia) tertulis:...Kebangkitan Yesus menyatakan bahwa kuasa kematian telah berakhir, berganti dengan kuasa kehidupan... Ini bisa diartikan bahwa dengan merayakan atau memperingati Paskah, orang Kristen merayakan menangnya kuasa kehidupan. Kehidupan manusia dirayakan, bebas dari kungkungan dosa, dan Tuhan Yesus hidup, imanuel!
Di gereja saya, tema besar peringatan Paskah tahun ini adalah “Aku t'lah Melihat Yesus Bangkit!”. Mengacu pada pernyataan Maria Magdalena, tema besar itu seakan merasuk dalam jiwa seluruh jemaat dan bersukacita menjadi suatu hal yang biasa terlihat dalam seluruh persiapan yang ada untuk memasuki perhelatan Paskah 2010. Wajar? Ya tentunya! Sangat wajar terjadi, bila kita memperingati sesuatu yang menyenangkan kita. Sesuatu yang 'hebat', dan memiliki 'aura positif' dalam hidup dan kehidupan manusia. Yesus telah bangkit, jadi tidak sia-sianya iman kepercayaan kita, karena kita memiliki Allah yang hidup yang tercermin dalam hidup seorang Pribadi agung bernama Yesus Kristus. Tapi, siapa yang mau merayakan atau memperingati kematian?
* * *
“Siapa yang mau merayakan atau memperingati kematian?” Pertanyaan yang bagus! Demikian ujar seorang kawan berbincang teologi saya. Kematian Yesus jatuh pada momen Jumat Agung, saat dimana alam semesta menghitam dan menggelegar. Saat tubuh lunglai Yesus terpatri di kayu salib nan kasar. Darah entah berapa liter sudah terkuras keluar meninggalkan tubuh Sang Guru. Ada penyair tempo dulu yang menggambarkan potret kematian Yesus sebagai potret yang menjijikkan, tak berbentuk dan jauh dari kenyamanan wajah Tuhan. Semua orang pergi meninggalkan dia jauh sebelum peristiwa itu, termasuk pada murid yang mengaku setia itu. Dan pada akhirnya, Allah Bapa pun 'pergi' meninggalkan Dia sendiri. Mengapa?
Jelas kalau para murid pergi, karena takut terkena imbas dari penyaliban Yesus itu. Mungkin mereka takut disalib juga, tapi yang pasti ketakutan mereka tergambar dari sikap mereka yang kembali ke pola hidup lama mereka (kebanyakan nelayan), dan sikap mereka bersembunyi di bangunan tertutup. Tapi, bagaimana dengan Allah Bapa? Mengapa Dia pergi meninggalkan tubuh Yesus seperti diserukan Yesus dalam Matius 27:46? Jawabannya, tentu kita sudah tahu semua, kalau Allah Bapa tidak meninggalkan Dia, bagaimana karya keselamatan yang sudah dijanjikan itu bisa digenapi? Karena selama Allah Bapa tak pergi, Yesus tidak akan mati, karena Allah tidak bisa mati. Satu lagi, yang saya imani, Allah Bapa pergi meninggalkan tubuh Yesus, karena Allah tak bisa bersatu dengan dosa. Seperti kita ketahui, saat itu –saat Yesus mati di kayu salib, saat Jumat Agung-- pribadi Yesus menanggung dosa-dosa seluruh manusia, ya termasuk dosa Anda dan saya. Allah Bapa mesti pergi, karena Allah Bapa tidak pernah berdosa....
Di saat Jumat Agung, seolah-olah seluruh surga menangis, meneteskan air mata, melihat pengorbanan Anak Manusia di kayu salib. Dia tidak berdosa, tapi dibuat berdosa oleh karena menanggung dosa kita, umat manusia. Maria Magdalena pun sebelum dia bersukacita dan berkata 'Aku t'lah melihat Yesus bangkit!', ia juga menangis dan meratapi sejadinya peristiwa kematian Yesus itu. Tapi, apa yang terjadi saat ini, apakah kita pun juga menangis sejadinya seperti manusia yang menyayangi Yesus, juga warga surga plus Allah Bapa yang sangat mengasihi Yesus?
* * *
Pertanyaannya: Mengapa tidak pernah ada Pesan Jumat Agung? Padahal justru kebangkitan tanpa kematian, adalah nothing! Karena bagaimana mau bangkit, kalau belum mati? Mengapa umat Kristen sekarang tidak diajak seperti Maria dan kawan-kawan tempo dulu, yang menangisi dosa-dosa kita sendiri, terlebih menangisi kematian Yesus karena kita? Padahal, saat ini kondisi sosial politik dan bidang hidup lainnya, justru makin terperosok dalam lubang nista? Coba tengok berita-berita di media massa, betapa hari-hari ini makin jahat, bukan? Jangan jauh-jauh, lihat hidup dan kehidupan kita, seberapa suci hidup kita? Apakah makin baik atau makin jahat? Seyogyanya kita, umat Kristen, merenungi dan memperingati Jumat Agung, dengan kata lain, melupakan peristiwa Jumat Agung karena hingar bingar Paskah. Karena, saat Jumat Agung terjadi, kita kembali disadarkan betapa kotor kita, betapa kita masih dan akan terus memerlukan kasih pengampunan dari Tuhan...
Jangan sampai kita, umat Kristen, disebut mau enaknya saja.... karena cenderung memperingati kebangkitan dan kurang mengapresiasi kematian. Selamat memperingati Jumat Agung....! petra_yan/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.