15.4.10

Belajar dari Kasus Makam Mbah Priok

Sejak pagi ratusan orang dua keyakinan saling berhadap-hadapan. Satu berkeyakinan hukum mesti ditegakkan, sementara yang lain berkeyakinan: Ini adalah tanah warisan, tanah keramat dan penuh sejarah, mesti dipertahankan hingga tetes darah penghabisan. Ya, sampai nyawa pun taruhannya, ini terlihat dari perlengkapan yang dibawa tiap-tiap orang di sana. Ada tombak/bambu runcing, ada kelewang, ada golok, ada batu-batuan, ada pula senjata api rakitan. Sementara dari pihak yang berkeyakinan hukum, mereka bersenjata lengkap tameng nonsenjata api apalagi sajam (baca:senjata tajam), hanya pentungan saja.

Mulai dari saling dorong hingga saling terjang. Mulai dari saling pukul sampai saling tusuk dan tebas. Korban luka-luka berjatuhan. Semua itu anak-anak bangsa yang konon kabarnya penuh dengan keramahtamahan, yang katanya berbudaya luhur, yang menurut nenek moyang, bangsa ini bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Tapi apa yang terjadi di kawasan Tanjung Priok 14 April 2010, sangat jauh dari kabar-kabar yang teramat mulia itu. Entah mana yang mesti dipercaya. Saat institusi pemerintah pun terkesan kabur di mata masyarakat. Saat aparat hukum bisa dibayar, dan keadilan menjadi benar-benar buta, tanpa daya lihat bahkan di kegelapan sekalipun. Saat sejarah dan legenda bercampur jadi satu bak gado-gado, sehingga masyarakat pun terkesan terdorong ke arah takhayul semata. Tak ada yang tahu pasti, apakah itu benar dan apakah itu salah. Semua abu-abu...

Walau akhirnya kompromi didapat, perbincangan dilakukan. Duduk di meja yang sama untuk bicara solusi yang baik. Tapi itu semua terjadi setelah ada simbah darah di sana, setelah sesama anak bangsa menebar kebencian satu sama lain. Kompromi damai pun digelar. Apakah mesti ada korban dulu baru akal sehat bermain? Mengapa emosi yang mesti menjadi panglima tanpa nurani?

Kompromi yang bisa jadi jalan tengah pun seolah diragukan sejumlah pihak yang tetap memegang teguh prinsip negara hukum. Mengapa hukum bisa dikompromikan? Di lain pihak, hukum pun dipertanyakan: apakah benar-benar sahih atau akal-akalan semata?

* * *

Ada tuntutan Satuan Polisi Pamong Praja atau dikenal dengan Satpol PP dibubarkan, karena aksi brutal yang sering kali mengikuti tindak tanduk mereka. Tapi, sejauh mana bisa dijamin, bila Satpol PP dibubarkan Perda bisa ditegakkan dengan baik oleh masyarakat? Sejauh mana bisa dipegang komitmen masyarakat umum untuk menertibkan diri sendiri, saling peduli terhadap hak dan kewajiban sesama, saling berjanji membuat kota ini tertib dan nyaman buat semua? Pasalnya, Satpol PP dibentuk (berdasarkan pernyataan Gubernur) untuk menegakkan Perda yang notabene adalah untuk kebaikan bersama. Lalu, sejauh mana kita bisa mengatur kelompok massa yang cenderung menggunakan kekerasan atau otot dalam menuntut atau mempertahankan sesuatu?

Namun, di lain pihak, bila Satpol PP tetap dipertahankan, sejauh mana pula pemerintah kota bisa menertibkan perilaku mereka di lapangan? Kabar terakhir, 2 orang wakil rakyat daerah Jakarta (DPRD) menjadi korban aksi brutal Satpol PP. Entah apa dan bagaimana kejadian itu terjadi, tapi satu hal ini bisa menjadi PR besar buat pemerintah kota.

* * *

Lalu apakah pelajaran apa yang bisa diambil dari Kasus Makam Mbak Priok? Dulu ada seorang ustadz yang selalu mendengungkan prinsip 'pengendalian diri' Jangan emosi dan dahului otak ketimbang otot. Bila keputusan pembongkaran sudah diputus di pengadilan (secara hukum), bila kurang puas, lawan itu dengan hukum pula, ajukan keberatan ke pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi. Lalu, untuk Satpol PP, segeralah berubah dan benahi diri, mumpung masih ada bau ulang tahun ini. Jadikan ulang tahun ini menjadi momentum untuk semakin menjadi pamong buat praja.

Hari ini, 15 April 2010, banyak media massa mengabarkan sebuah cerita. Sebuah cerita tentang tumbangnya 130 anak bangsa menjadi korban. Ada yang terluka, ada yang tewas dari sisi sana dan sisi sini. Kedua belah pihak yang saling berhadapan kemarin, mendulang akibat tak ternilai harganya. Nyawa manusia, nyawa anak bangsa, dibenturkan entah oleh siapa. Satu pihak, menerima perintah menegakkan peraturan yang ada. Satu lagi, menegakkan keyakinan mereka terhadap keberadaan sebuah makam.

Ingat! Kita ini sama-sama anak bangsa, kita sama-sama tinggal dan hidup di Indonesia (khususnya di Jakarta). Kota ini milik semua, bukan milik segelintir orang saja. Terlebih lagi, kita ini sama-sama manusia ciptaan Sang Khalik, yang pasti mengajarkan kepada kita umatNya, untuk menjadi rahmatan lil'alamin...                                                                                                                petra_yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.