27.4.10

Masuk Penjara Sekali, Tercoreng Selamanya (?)

Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-46

Terompet pagi, kita harus bangun
Makan diantri, nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

... (Hidup di Bui – D'Lloyd)

Di atas adalah kutipan dari sebuah lagu yang terkenal di era 80-an. Lagu tersebut menggambarkan sebuah kehidupan yang terkesan jauh dari perikemanusiaan. Di bagian lain lagu tersebut dinyatakan bahwa badan hidup terasa mati, agak lebih baik ketimbang zaman penjajahan dulu, yang bisa
 membuat seseorang masuk gemuk, keluar tinggal tulang. Tapi apakah kondisi seperti itu masih dirasakan di masa reformasi ini?

Berdasarkan sejarah yang ada, sistem manajemen penjara Indonesia terinspirasi oleh perundangan warisan kolonial. Dulu, penjara diadakan untuk menimbulkan efek jera, bahkan ada dendam sosial politik yang dimiliki penguasa. Namun kini, sejak tahun 1964, tepatnya tanggal 27 April, perubahan fungsi hukuman penjara berubah total di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Kini, penjara lebih berkonsep rehabilitasi atau perbaikan/pembenahan mental, juga reintegrasi sosial, sehingga pada saatnya nanti si terpenjara bisa kembali ke masyarakat luas dengan baik dan normal. Nah, walau kini sudah berangsur diperbaiki, namun ternyata praktek-praktek kolonial masih terasa dan dilakukan oleh aparat terkait, itu minimal yang didapat dari banyak sekali terpenjara yang biasa disebut narapidana.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, proyek rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengaitkan unsur penegakan hak asasi manusia dari setiap narapidana yang ada. Namun memang sebagai seorang yang sedang menjalani vonis pengadilan atas kejahatan yang dilakukan, beberapa hak sebagai warga negara bakal dibatasi, salah satunya adalah kemerdekaan alias kebebasan. Sementara beberapa hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia antara lain:

a. Hak untuk melakukan ibadah
b Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
c. Hak mendapatkan pendidikan
d. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Hak menyampaikan keluhan
f. Hak memperoleh informasi
g. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
h. Hak menerima kunjungan
i. Hak mendapatkan remisi
j. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk mengunjungi keluarga
k. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas

Namun apa yang terjadi saat ini ternyata masih jauh panggang dari api. Berdasarkan pengalaman dan kabar-kabar di sejumlah media massa, kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan ternyata hanya 'bergeser' sedikit bila dibanding dengan masa kolonial dahulu. Hukum 'siapa kuat menjadi penguasa' dan 'siapa kaya bisa semau gue' ternyata masih dirasakan. Mulai dari berita adanya fasilitas khusus buat para narapidana kaya, lalu adanya 'pajak preman' buat yang berkuasa di dalam Lembaga Pemasyarakatan, hingga kabar mengenai narapidana yang bisa 'keluar-masuk' dengan beragam fasilitas. Ini belum termasuk sejumlah pungutan liar yang dilakukan bukan hanya oleh sesama narapidana, tapi juga oleh para aparat yang bertugas alias sipir penjara. Salah satu kesaksian yang mengemuka diwakili oleh salah seorang bekas narapidana kasus korupsi 54,6 milliar rupiah dana Bulog, Rahardi Ramelan. Mantan Kepala Badan Urusan Logistik alias Bulog itu memaparkan pahitnya hidup di Lembaga Pemasyarakatan buat 'wong cilik' Budaya suap menyuap merupakan satu diantara sejumlah perilaku tak terpuji yang dilakoni dalam lembaga yang konon kabarnya lebih manusiawi ketimbang penjara kompeni. Aksi kekerasan dan aksi sewenang-sewenang masih saja diderita narapidana yang lemah (baik fisik, mental maupun kocek). Menurut Hazairin dalam bukunya 'Tujuh Serangkai tentang Hukum', hidup dalam penjara walaupun super modern, adalah hidup yang sangat menekan jiwa, pikiran dan hidup kepribadian. Ya, tak heran, banyak orang yang keluar masuk penjara alias sudah bebas... eh, masuk lagi karena melakukan kejahatan yang sama. Atau, yang saat ini justru banyak dipergunjingkan, Lembaga Pemasyarakatan justru menjadi 'tempat pendidikan' buat para narapidana, sehingga saat bebas dan kembali ke masyarakat, mereka rentan melakukan aksi kejahatan berikutnya yang konon kabarnya lebih canggih/hebat.

Kalau sudah begitu, maka yang mesti diamati adalah para aparat penegak hukum. Adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab membuat proses pemasyarakatan para narapidana menjadi terhambat dan bahkan hancur berantakan. Sehingga fungsi rehabilitasi dan reintegrasi sosial seperti yang dicita-citakan 46 tahun yang lalu, seperti 'jalan di tempat', kalau tidak mau disebut tak dipraktekkan. Alhasil, banyak yang bilang kalau sudah masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sekali, maka itu cukup untuk mencoreng hakekat manusia seumur hidup...(?)

Melalui momentum Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-46, 27 April 2010 ini, banyak masyarakat berharap Lembaga Pemasyarakatan benar-benar kembali ke fungsi yang dicita-citakan dulu. Benar-benar menjadi kawah candradimuka bagi para narapidana. Benar-benar mempersiapkan mereka menjadi masyarakat yang kembali taat hukum dan kembali berguna buat masyarakat. Apalagi, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun ini menempatkan proyek reformasi birokrasi pada tema besar mereka. Semoga reformasi birokrasi yang katanya sudah memasuki tahap kedua di tahun ini, bisa benar-benar dirasakan oleh masyarakat, khususnya bagi para narapidana yang ada. Karena bagaimanapun juga, narapidana juga manusia. Jangan sampai bagian teks lagu 'Hidup di Bui' berikut ini, kembali dirasakan mereka yang terpidana....

... Apalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang...

petra_yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.