"...on April 22, 1970, Earth Day was held, one of the most remarkable happenings in the history of democracy... " -American Heritage Magazine, October 1993
Empat puluh tahun yang lalu di Amerika Serikat, Hari Bumi merupakan wujud tindak lanjut dari gerakan sosial di negeri Paman Sam itu pada akhir dekade 60-an. Gerakan sosial berskala besar yang waktu itu diikuti 20 juta penduduk Amerika Serikat bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa perlu adanya tindakan nyata terhadap bumi. Mengapa bumi? Karena sejak saat itu, manusia (khususnya penduduk Amerika) sudah terusik dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak drastis, sehingga berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan tingkat kesehatan. Pertumbuhan penduduk yang tajam itu mengancam ketersediaan lahan hijau di bumi ini, karena keperluan permukiman manusia beserta sarana dan prasarana yang memadai.
Hal ini tentunya diikuti oleh kemajuan teknologi yang lebih cepat pula. Adanya sarana transportasi, kemudian penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan pun memiliki andil menurunkan kadar kesehatan manusia. Selain itu, masih banyak lagi kompleksitas masalah bumi, bila dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk dan kualitas kesehatan manusia.
Di Indonesia saja, kita bisa saksikan kemerosotan kualitas bumi, tempat tinggal kita ini. Coba tengok tinggal berapa luas hutan di bumi nusantara kini? Kabar terkini dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, sekitar 42 juta hektar (Ha) hutan Indonesia kini sudah habis ditebang alias gundul. Ini berarti hutan Indonesia tinggal 88 Ha lagi. Sebagai informasi, 70 persen dari luas daratan nusantara adalah kawasan hutan atau sekitar 130 juta Ha. Ini menandakan laju deforestasi yang sangat mengkhawatirkan, sehingga banyak pihak memperkirakan di tahun 2020, bila tidak ada solusi cepat dan tepat, maka luas hutan Indonesia akan menjadi hanya 10 persen dari total 130 juta Ha. Suatu prediksi yang cukup menakutkan buat bumi, mengingat Indonesia masih menjadi salah satu negara paru-paru dunia. Satu negara yang menjadi 'penyaring' polusi dunia yang menghebat seiring dengan waktu berjalan.
Untuk apa deforestasi dilakukan? Entah untuk pemanfaatan kayu hutan secara membabi buta dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Entah untuk pembukaan lahan tanam atau buat permukiman penduduk. Hal yang terakhir disebut akhir-akhir ini sudah banyak memakan korban jiwa, akibat banjir dan longsor di lereng bukit atau gunung (masih ingat peristiwa Ciwidey?)
* * *
Bicara soal hilangnya lahan hijau, lebih spesifik kita layangkan pandangan ke ibukota tercinta, Jakarta. Berapa banyak tinggal lahan hijau di metropolitan ini, baik itu taman atau hutan kota? Idealnya satu daerah perkotaan mesti memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 30 persen dari total luas wilayahnya. Sementara dari luas RTH itu, 10 persen diantaranya mesti menjadi hutan kota. Buat Jakarta, gambaran ideal ini masih jauh panggang dari api. Namun semangat yang ada saat ini memang patut diacungi jempol. Pasalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Bidang Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, akan mengejar ketertinggalan itu menuju luasan RTH yang ideal. Nantinya, RTH tidak hanya terdiri dari hutan kota, tapi juga taman dan sarana umum seperti jogging track, sarana bermain anak-anak dan lainnya. Tak tanggung-tanggung, pemerintah pimpinan Fauzi Bowo ini menganggarkan dana sebesar 62 milliar rupiah pada tahun 2010 untuk mencapai kuota 30 persen RTH. Semoga saja, pelaksanaan program ini benar-benar dilakukan secara maksimal demi kepentingan bersama (tidak ada penyelewengan ataupun kepentingan-kepentingan pihak lain di luar kepentingan masyarakat)
Sebagai gambaran, saat ini RTH banyak dialihfungsikan menjadi permukiman penduduk dan fasilitas komersial seperti pusat perbelanjaan hingga lokasi cari uang masyarakat Jakarta. Dengan tetap mengacu pada implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) serta win-win solution, maka permasalahan alih fungsi ini mesti dibereskan secara hukum yang berlaku. Tak lupa, tindak lanjut buat para oknum aparat pemerintah yang melanggar kredibilitas mereka sendiri dengan meluluskan akses alih fungsi itu.
Sementara itu, di bidang kesehatan, Indonesia sudah menjadi rahasia umum, penyakit-penyakit baru muncul silih berganti menghantam manusia nusantara. Sebagai barometer, coba kita tengok di Jakarta, sejumlah penyakit konvensional masih menjadi PR ditambah penyakit gara-gara life style atau gaya hidup seperti HIV/AIDS, diabetes, kanker, dan lainnya. Penyakit konvensional itu salah satunya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Menurut tim peneliti dari John Hopkins School of Public Health tahun 1998, peningkatan suhu global akan menjadikan DBD oleh nyamuk Aedes Aegepti dan Aedes Albopictus sebagai penyaki infeksi yang disebarkan serangga yang paling serius dan fatal di muka Bumi. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar dari Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, Amerika Serikat. Dikabarkan bahwa akan selalu muncul jenis-jenis baru hasil evolusi virus dengue yang menjadi penyebab DBD. Masih jelas di benak kita, evolusi yang terjadi pada virus flu, hingga menghasilkan avian flu serta swine flu, dan entah apa lagi...
Soal kesehatan di atas, diperburuk oleh kualitas udara kota ini. Walaupun Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) masih menjadi ujung tombak program pemerintah kota, tapi tentunya tanpa dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) kota, upaya membuat bumi ini nyaman dan aman dihuni (tanpa takut mudah jatuh sakit) akan jauh dari ideal. Coba saja perhatikan implementasi dari Peraturan Daerah tentang Kawasan Dilarang Merokok, yang masih banyak dilanggar manusia Jakarta. Stiker, spanduk banyak ditempel hingga kampanye banyak digelar, sepertinya masih menjelma sebagai musafir yang berteriak-teriak di padang gurun. Hingga kini infeksi saluran pernafasan masih menjadi salah satu penyakit langganan para dokter Jakarta.
Apa yang menyebabkan hal di atas? Tentunya perilaku manusia itu sendiri, termasuk kita (Anda dan kami di sini). Bagaimana kita tidak ikut mencemari udara Jakarta? Bagaimana kita tidak membuang sampah sembarangan? Bagaimana kita tidak menyalahgunakan wewenang sebagai aparat pemerintah? Bagaimana kita tidak hanya mementingkan urusan bisnis belaka? Bagaimana kita juga mempedulikan orang lain? Ini seakan menjadi pertanyaan buat semua, bukan hanya kita – manusia Indonesia, tapi juga 140 negara di dunia, organisasi nonpemerintah, dunia pendidikan dan swasta yang berderak memperingati Hari Bumi ke-40 tahun ini.
Lestarinya bumi ini, sejatinya ditentukan bagaimana kita berperilaku, secara pribadi. Supaya kita tidak memegang ungkapan dulu saat kita pacaran: “Oh sayang, seakan bumi ini milik kita berdua!” Ingat! Bumi ini milik semua orang yang jumlahnya triliunan jiwa... petra_yan/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.