21.4.10

Sempitnya Kebaya, Sesempit Pikiran Kita (?)

Memperingati Hari Raya Nasional Kenegaraan Hari Kartini

Hari besar nasional yang diperingati oleh Negara Indonesia, di bulan April, tiap tahunnya, ternyata masih menghadirkan semangat tinggi dari anak bangsa ini, untuk memperingatinya. Pada tanggal 21 April 2010, bangsa indonesia memperingati hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, yang pada tahun 2010 ini, berusia 131 tahun.

Hari yang tercatat dari berbagai macam institusi, baik pemerintah maupun swasta, ikut ambil bagian dalam peringatan hari lahir tokoh
perempuan yang disebut sebagai pejuang emansipasi wanita nasional itu. Kepolisian Daerah Jakarta Raya misalnya, mewajibkan seluruh Polisi Wanita (Polwan) untuk berkebaya khusus di hari ini. Bukan hanya yang ada di kantor, tetapi juga yang bertugas di lapangan (baca:jalan sebagai Polisi Lalu Lintas), mereka berkebaya dan melakukan aksi damai kampanye berlalu lintas yang benar. Kemudian, para petugas Transjakarta pun tak mau ketinggalan, para karyawan (supir, satuan pengamanan dan penjaga tiket) mereka tajuk untuk menggunakan kebaya mengemudi armada. Kini sekitar 478 orang kini berprofesi sebagai supir Transjakarta, sementara ratusan lainnya menjadi satuan pengamanan bus dengan jalur khusus itu. Sementara itu, di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), para petugas wanita 'rela' berpanas-panas ria dengan menggunakan kebaya, sekali lagi – khusus di Hari Kartini ini.

Entah apa yang ada di benak bangsa Indonesia, saat Hari Kartini diperingati setiap 21 April. Yang pasti, sejak kecil hingga kini, kita masih menyaksikan anak-anak SD berpawai menggunakan pakaian tradisional, khususnya kebaya Jawa ala Kartini. Entah apa yang diajarkan setiap Hari Kartini tiba, usai mereka berpawai, apa pesan yang mereka dapat, semuanya masih kabur. Bagaimana tidak? Dalam hal ini, bangsa Indonesia terkesan masih terbelenggu dengan budaya simbolisme. Budaya yang mengutamakan simbol, cenderung mengagung-agungkan simbol, lalu terjepit dalam dan oleh simbol itu.

Ernst Cassier, seorang filsuf asal Jerman, menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol alias animal symbolicum. Ini didasari oleh kenyataan bahwa manusia tak bisa lepas dari simbol untuk menyatakan perasaan, pemikiran dan tindakannya. Lebih lanjut, filsuf lainnya S.K. Langer dalam bukunya Philosophy in a New Key tentang simbol menyatakan, “The symbol making function is one of man’s primary activities”. Jadi bagi manusia, membuat simbol adalah aktivitas primer yang sering terjadi karena spontanitas dan manusianya sendiri. Namun secara umum, tindakan orang dikatakan bersifat simbolis jikalau di dalamnya disingkapkan seluruh hidup pribadi atau sekurang-kurangnya salah satu sikap yang cukup untuk mewakili keseluruhan. Karena itu, simbolisme cenderung mengurangi bahkan meniadakan makna atau fakta sebenarnya yang luas ada di balik simbol.

Dalam kasus Hari Kartini, 21 April tahun ini, ditengarai adanya pengentalan budaya simbolisme di kalangan masyarakat. Penggunaan simbol-simbol kebaya Jawa yang digunakan oleh para perempuan khusus di Hari Kartini (sebenarnya bukan hanya Hari Kartini, tapi juga kebanyakan hari-hari besar nasional yang ada, juga sarat simbolisme-red), dikhawatirkan akan menjadi aksi simbolisme belaka. Orang banyak, terutama generasi muda, kemungkinan besar akan menjadi gagap makna sebenarnya perjuangan RA Kartini tempo dulu. Bukan memperjuangkan kebaya sebagai simbol perjuangan kaum wanita, bukan memperjuangkan konde ataupun bukan memperjuangkan pakaian tradisional yang dipakai di banyak pawai-pawai Hari Kartini (karena tokoh perjuangan hak kaum perempuan, ternyata memang bukan hanya Kartini, tapi juga banyak tersebar di seantero nusantara, cuma kurang ngetrend saja-red) Tapi, dalam hal ini, Kartini memperjuangkan hak perempuan mendapatkan pendidikan, hak perempuan untuk bisa bersuara dan menyampaikan pendapat mereka. Itu kurang lebih, makna hakiki perjuangan R.A. Kartini. Tapi, apakah itu diajarkan sejak dini (sejak SD)? Atau justru generasi muda mendapatkan pengetahuan itu di luar sektor formal alias hasil browsing internet atau sumber partikelir lain?

Simbol YES! Simbolisme NO! Kurang lebih demikian pesan yang ingin disampaikan pada peringatan Hari Kartini tahun ini (21 April 2010). Jangan sampai hari ini berkebaya Jawa mengamini perjuangan Kartini, besok kembali 'tunduk' pada 'jajahan' kaum pria. Hari ini seolah bangsa ini heroik memperingati Hari Kartini, tapi besok banyak Kartini-Kartini muda yang 'dijual' menjadi korban trafficking. Hari ini seakan bangsa ini tenggelam dalam eforia Kartini tempo dulu, lalu besok masih banyak anak-anak perempuan diperkosa, baik hak maupun fisik mereka, tanpa ada pertanggungjawaban. Atau jangan-jangan kebaya Jawa yang relatif sempit itu, juga mencerminkan pikiran kita yang juga relatif sempit dalam berbincang masalah hak dan kewajiban manusia, dalam hal ini perempuan...                                     yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.