7.4.10

Selamat Hari Kesehatan Dunia 7 April 2010 ke - 62

SUDAH SEBERAPA SEHAT KOTA ANDA?

Pagi-pagi, masuk kerja, di bagian timur Jakarta, saya sudah terbangun dengan kabar memprihatinkan: Setiap 3,5 detik seorang anak balita meninggal di berbagai belahan dunia; hampir 9 juta anak setiap tahun – 4 juta diantaranya ada di wilayah Asia Pasifik dan hampir dua ratus ribu balita meninggal di Indonesia [keterangan pers World Vision:Child Health Now, 07 April 2010] Dalam keterangan itu pula, lembaga kemanusiaan internasional itu juga menunjuk pada kemajuan yang dicapai Indonesia, walau hanya sedikit.


Sejak 62 tahun lalu, 07 April selalu menjadi momentum pengingat setiap insan bumi ini akan pentingnya kesehatan dalam hidup manusia. Banyak orang bilang, kesehatan adalah segalanya. Banyak manusia berkata, demi kesehatan, setiap manusia rela mengosongkan kocek-nya. Ya, kesehatan menjadi modal utama kehidupan manusia. Coba saja lihat di rumah-rumah sakit internasional yang ada di negeri ini. Berapa banyak orang-orang kaya yang hartanya tak habis dikonsumsi 7 turunan, tapi mereka hanya bisa terbujur di atas ranjang rumah sakit. Berapa banyak orang berduit yang sampai saat ini hidupnya mesti bergantung pada seperangkat mesin pemacu jantung. Berapa banyak orang-orang kelas atas yang mesti kehilangan rupiah demi rupiah hanya demi melihat senyum anggota keluarganya yang sakit.

Lebih pahit lagi kenyataan lain yang kita saksikan, saat sebuah keluarga mesti merelakan kepala mereka ditahan polisi akibat tertangkap mencuri. Hal haram tersebut dilakukan sang ayah sangat terpaksa hanya demi membeli obat buat anaknya tersayang. Seberapa jauh kita mengetahui fakta adanya bayi-bayi dan anak-anak kecil yang mesti kehilangan nyawa mereka akibat biaya kesehatan yang ada di ujung langit. Seberapa paham kita tentang perjuangan para ibu di pelosok negeri ini untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang hanya jauh panggang dari api. Juga seberapa terbukanya mata hati kita melihat, banyak orang di sekitar kita yang hanya bisa mengonsumsi air kotor/tak layak minum, hanya untuk membasahi kerongkongan mereka di tengah cuaca yang makin panas ini.

Coba kita layangkan pandangan di sekitar kita. Bagi Anda yang berada di sebuah perumahan mewah, bersyukurlah sistem pembuangan sampah Anda mungkin sudah sedemikian baik. Sehingga Anda bisa istirahat nyaman dan bercengkerama dengan baik tanpa gangguan bau sampah rumah tangga. Atau Anda bisa merasa beruntung dapat merasakan air bersih, bahkan berkualitas nyaris sama seperti air dari mata air pegunungan. Lalu, bagi Anda yang berada di permukiman menengah, pilihan Anda tetap bersyukur atau memprotes habis-habisan karena aliran air milik perusahaan daerah mampet dan atau....”Uhm, kok ada yang berenang ya di gelasku...?” Juga pilihan Anda mau tetap merasa lebih beruntung ketimbang mencaci maki aparat karena air tanah yang tercemar e-coli, atau sampah yang kian menggunung akibat petugas pengangkutnya kadang ada kadang tiada.

Alhasil, Anda mungkin mengeluarkan banyak uang untuk sekedar membeli Air Mineral Dalam Kemasan, atau mengorek kocek lebih dalam untuk saweran dengan tetangga demi hilangnya sampah dari lingkungan Anda. Kemudian bagaimana dengan Anda yang ada di padatnya rumah dan pinggiran kali, juga di atas kuburan, maupun di bawah kolong jembatan? Juga bagaimana kabar Anda yang ada di pelosok daerah, di hutan-hutan, pegunungan antar berantah, ataupun di kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan? Sampai tak tega menuliskan kondisi yang tersaksikan mata kepala sendiri. Apa yang mereka minum, bagaimana mereka mendapatkan air minum. Udara apa yang mereka hirup, dan bagaimana mereka hidup. Benak saya langsung kembali menerawang saat dulu (tugas pertama kali sebagai seorang jurnalis) tinggal di sebuah desa di area pembuangan sampah Jakarta. Saya nyaris tak bisa makan minum selama saya di sana (10 hari penuh), bahkan beberapa kali saya mual-mual karena ternyata di sana kotoran manusia bertebaran layaknya kotoran ayam. Tapi bagaimana mereka bersikap?

“Bersyukur mas, yang penting masih bisa hidup...”, ujar seorang pria setengah baya sambil tersenyum lepas. Mereka masih bisa tertawa, masih bisa mengadu lelucon seperti beberapa anak kecil bertelanjang dada yang bermain bola di lapangan yang tak seberapa luasnya. Dari sana, saya pun mendengar kabar, sejumlah penyakit rutin yang mereka sering dapat setiap hari adalah penyakit kulit, diare, infeksi saluran pernafasan atas, batuk, pilek, dan terakhir TB. Sudah cukup banyak nyawa melayang dari anggota keluarga mereka. Tapi mereka seolah tak punya pilihan, selain tetap bertahan hidup di ganasnya pinggiran ibukota.

Agak ke tengah kota, saya pun teringat pernah ke beberapa tempat yang masih menjadi potret gagapnya pembangunan kota. Salah satunya sungguh kontras, saat saya menginap di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Saya sengaja memesan kamar dengan balkon yang bisa digunakan untuk menatap udara terbuka. Satu malam, dari balkon itu saya menatap indahnya langit Jakarta nan cerah, tapi sayang saat saya mesti menjatuhkan pandangan saya ke salah satu sudut, kumuhnya kota ini pun tertatap. Tak tunggu lama, saya pun langsung bergegas menuju ke tempat itu. Satu yang ada di benak saya, sehari-hari lewat depan hotel ini, saya tak sempat melihat adanya permukiman padat nan kumuh di sana. Akhirnya, saya pun berhasil ada di sana. Dengan celana gunung sedengkul, kaos oblong ples sendal jepit, saya hampiri mereka yang ada di sana. “Mas, nasi goreng satu...”, itu kalimat pembuka saya, setelah itu obrolan pun mengalir bersama 3 orang muda yang nongkrong di sebuah pos yang katanya bekas pos pemenangan pemilu itu.

Rumah ukuran 4x4 bertingkat 2 sepertinya sudah menjadi suatu yang mewah di sana. Kebanyakan rumah berukuran kurang dari itu, dan tanpa jendela dibuatnya. “Yang penting bisa buat tidur mas....”, ujar lelaki berkumis yang sedari tadi menghembuskan asap rokoknya jauh-jauh dari saya. Itu karena sebelumnya saya katakan kalau saya alergi asap rokok, sering batuk kalau isap asap itu. Diapun tersenyum entah apa yang ada dalam benaknya mendengar alasan saya itu. Mungkin dia pikir, “Ah, gak gaul nih mas-mas...” atau “...ga macho nih...” Apalah, yang penting dia tetap senyum sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang ada di hadapannya.

Nah, kalau ruang seukuran itu 'hanya' dipakai untuk tidur, masak dan bercengkerama, lalu kegiatan MCK (baca:mandi cuci kakus) dilakukan dimana? Lelaki itu pun menunjuk ke bagian belakang deretan rumah itu. Ooooh, ada sebuah kali kecil di sana. Airnya lumayan banyak, konon kabarnya kalau hujan deras, airnya sering meluap sampai ke dalam rumah dan ke jalanan. Uhm, kebayang deh, bagaimana jadinya.... yang pasti, tak bisa dihitung dengan dua tangan lagi, jumlah penyakit yang sempat mampir ke manusia-manusia di sana. Entah sudah berapa nyawa melayang dari lokasi padat dan kumuh itu, hanya karena tidak sehat alias sakit.

petra_yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.