6.4.10

Ironi Jakarta (bagian 1): Buta Huruf di Pusat Negeri...

Tangannya terus diacung-acungkan. Memanggil para calon penumpang satu jurusan. Mereka dikumpulkan, lalu dengan sigap lelaki itu pun memberhentikan sebuah bus satu jurusan itu. Para calon penumpang pun resmi menjadi penumpang dengan menaiki bus tersebut, dan lelaki berkulit coklat gelap itu pun tersenyum mendapat selembar uang dari kernet bus. Sebut saja, namanya Ilham.

Ilham sudah nyaris setahun menjadi tukang kumpul calon penumpang di satu sisi di suatu perempatan jalan di kawasan selatan Jakarta. Entah apa sebutan buat ia, tapi yang pasti ia dan sejumlah kawan, bertugas mengumpulkan para calon penumpang bus satu jurusan. Loh, memangnya para penumpang itu tidak bisa berkumpul sendiri lalu menghentikan sendiri bus yang dimaksud? Atau bukankah si sopir bisa menghentikan busnya sendiri di tempat itu? Nah, ini masalahnya! Lokasi Ilham 'bekerja' itu merupakan area larangan berhenti alias kendaraan apapun tidak diperboleh berhenti di sana. Alasanya? Agar jalan yang sudah cukup padat sehari-hari itu (kecuali hari libur), tidak tersendat alias macet. Itu semua ditandai dengan keberadaan rambu-rambu lalu lintas 'S yang dicoret' Juga ada tulisan DILARANG MENGAMBIL PENUMPANG. Yang terakhir, sepertinya baru saja dibuat oleh dinas terkait.

Sesekali, berdasarkan pengakuan Ilham, mereka diusir oleh aparat yang ada, baik dari Dinas Perhubungan maupun dari Kepolisian. Bahkan ada kawan mereka yang sempat terkena tempeleng, dari pak polisi, karena dinilai membandel, tetap mengumpulkan penumpang di sana. Tidak sedikit pula, bus-bus yang nekat berhenti di sana pun ditilang.
“Ah, itu kan bisanya mereka saja.... larang-larang... (mereka) mau duitnya... orang cari duit kok dilarang....”, demikian ungkap Ilham sekenanya, saat ditanya tanggapannya terkait aksi larangan para aparat tersebut. “...mas, di sini dari dulu ndak dilarang tuh...mana ada larangan di sini....”, tegasnya sekali lagi.
Dia pun kembali asyik memanggil calon penumpang dari segala penjuru perempatan. Teriakannya lantang, sambil sesekali juga menghisap puntung rokok di tangan kanannya. Kadang-kadang tangan kanannya memegang gulungan koran, bukan rokok. Tak peduli panas matahari menjelang, Ilham tetap 'bekerja' hari itu...
Perbincanganku dengan Ilham tidak sampai di situ. Masih banyak soal yang menjadi bahan obrolan kami, selain secangkir kopi tubruk dan sebotol teh dingin. Tapi, satu hal yang saya akhirnya mengerti mengapa Ilham dan kawan-kawan berkeras 'bekerja' di pengkolan jalan tersebut: mereka 'tak mengetahui' arti rambu lalu lintas yang ada. Dan yang lebih parah, Ilham dan kawan-kawan tak tahu bacaan yang tertulis: DILARANG MENGAMBIL PENUMPANG.
* * *
Buta huruf atau buta aksara, adalah salah satu 'kekurangan' manusia yang sejatinya bisa diperbaiki. Caranya? Tentu dengan diajari membaca, diperkenalkan dengan aksara dan pelajaran bahasa. Saya jadi ingat kisah yang lain yang pernah saya alami juga, tentang seorang bapak yang kencing di suatu sudut, padahal di sana tertulis jelas berwarna merah terang: DILARANG BUANG AIR KECIL DI SINI. Memang ternyata masalah buta huruf masih ada (bahkan banyak) di ibukota negara ini alias di metropolitan, Jakarta.

Berdasarkan data dari Suku Dinas Pendidikan Menengah di Jakarta Pusat misalnya, terdapat nyaris 900 jiwa penduduk yang masih buta huruf. Jumlah ini memang mengalami penurunan ketimbang tahun lalu. Penurunan yang terjadi tidak banyak, hanya 9 orang yang berhasil dibebaskan dari kebutaan aksara. Tapi itu sudah merupakan 'prestasi' bukan? Lalu, keberadaan mereka pun yang terdata itu bak puncak gunung es, atau bisa dikatakan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak daripada jumlah tersebut. Menurut petugas Suku Dinas tersebut, wilayah yang paling banyak ditemukan penduduk yang buta huruf antara lain di Tanah Abang dan Senen. Ditengarai, faktor ekonomi menjadi faktor utama penyebab banyaknya orang buta huruf di Jakarta.
Mungkin aparat terkait sudah sedemikian rupa menggelontorkan program pengentasan buta huruf di ibukota negara ini, walau hasilnya kurang memuaskan, yaitu tak lebih dari 10 orang yang dientaskan. Jangan-jangan jumlahnya ternyata kian banyak, melibat jumlah orang miskin di Jakarta pun tak sedikit (ini kalau mau memakai alasan ekonomi sebagai penyebab) Tapi, satu hal yang perlu dipelajari oleh para aparat pendidikan Jakarta, adalah bagaimana menarik minat para warga untuk ikut PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang ada di pelosok kota, baik milik pemerintah maupun partikelir.

Setahu saya, banyak PKBM yang 'kosong' di setiap harinya, yang ada hanya 1-2 orang saja, itupun yang sudah bisa membaca, karena mereka memanfaatkan ruang baca yang ada di PKBM. Kalau tidak kosong, banyak PKBM yang hanya diikuti oleh anak-anak, sementara orang dewasa yang memang menjadi salah satu sasaran utama PKBM untuk diajari belajar mengenal huruf, cenderung ogah ada di sana. Ini kurang lebih menandakan kurang maksimalnya fungsi PKBM yang ada di metropolitan ini.

* * *
Bicara soal buta huruf, kabar menarik tersiar dari kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mendapatkan penghargaan anugerah buta aksara dari Kementerian Pendidikan Nasional. Pemerintah setempat dinilai berhasil mengentaskan buta huruf di kawasan gunung kapur tersebut. Dari angka 39 ribu lebih penduduk yang buta aksara di tahun 2007, hingga kini jumlah tersebut sudah turun menjadi 11 ribu lebih penduduk yang buta huruf. Pengentasan yang cukup drastis telah berhasil diraih aparat Gunung Kidul selama nyaris 2 tahun. Sistem yang digunakan mereka pun sama seperti yang digunakan oleh aparat pendidikan di Jakarta, yaitu dengan mengadakan PKBM di sejumlah tempat.

Lalu, apa salahnya di Jakarta? Ataukah sistem yang digunakan justru tak efektif diadakan di Jakarta? Atau sebenarnya efektif, tapi aparatnya yang kurang baik menterjemahkan sistem tersebut secara praktis kepada masyarakat?

* * *

Hari ini, saya kembali membaca salah satu surat kabar nasional, dan menemukan kabar peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Sekitar 30 ribu jiwa tewas sia-sia karena kecelakaan lalu lintas, yang menjadi penyebab kematian terbesar ke-3 di negeri ini. Saya pun langsung berpikir kritis, uhm berapa banyak korban kecelakaan itu yang tewas akibat tidak bisa membaca rambu lalu lintas? Seperti Ilham yang tak bisa membaca rambu lalu lintas, apalagi tulisan di koran yang selalu ia bawa....                                           petra_yan/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.