“Awas ya! Kalau anak saya luka ketiban atap, saya akan ngamuk...”, cetus seorang pria setengah baya kepada seorang guru di suatu Sekolah Dasar (SD) di salah satu kawasan di Jakarta.
Cetusan seorang bapak itu mengomentari keputusan sekolah yang tetap menjalankan proses belajar mengajar kendati kondisi sekolah sudah cukup memprihatinkan. Langit-langit di sejumlah ruangan terlihat sudah menggantung, mau jatuh; bahkan di beberapa bagian sudah tampak bolong.
“Ya bagaimana dong pak? Kan mereka mesti tetap belajar...kalau nunggu kabar dari dinas, wah! Mau sampai kapan mereka libur...”, keluh kepala sekolah tersebut. Pernyataan itu mengomentari saran dari seorang bapak lainnya yang meminta sekolah diliburkan dulu sambil perbaikan dilakukan dengan terlebih dahulu melapor ke Suku Dinas Pendidikan setempat.
“Ya sudah, kita saweran aja... perbaiki seperlunya dulu, yang penting ndak membahayakan (anak-anak)...”, kata seorang ibu yang sedari tadi diam saja.
Demikian kutipan perbincangan lugas 2 orang guru dan seorang kepala sekolah dengan sejumlah orang tua murid. Mereka mengeluhkan kerusakan-kerusakan yang tidak perlu di sejumlah titik bangunan SD. Kok 'yang tidak perlu'? Pasalnya, bangunan SD itu ternyata baru saja diperbaiki oleh Suku Dinas Pendidikan setempat. “Baru selesai Desember lalu...tapi ya gitu deh, kayaknya (pengerjaannya) asal-asalan deh...”, ujar seorang guru. Uhm, baru 4 bulan dong!
* * *
Kisah di atas ternyata tidak hanya terjadi di tingkat SD, tapi banyak bangunan SMP dan SMA yang juga berada dalam kondisi mengenaskan. Berdasar informasi dari Dinas Pendidikan Jakarta, kurang lebih 53% atau sekitar 810 gedung sekolah di ibukota negeri ini dalam kondisi rusak di berbagai tingkat, mulai dari rusak sedang, berat hingga rawan ambruk. Dari total tersebut, sekitar 300 gedung sekolah mesti mendapat prioritas karena sudah rawan ambruk.
Namun kalau bicara fakta mengenai bangunan sekolah yang rusak usai diperbaiki (terus terang saya bingung kok diperbaiki malah rusak sih...?), kemungkinan besar jumlahnya pun tak sedikit. Nah, kalau sudah begini, siapa yang tidak menjalankan tanggung jawab dengan baik dan benar? Pemerintah kah? Atau justru si pemborong yang mendapatkan kontrak pembangunan/perbaikan gedung sekolah di Jakarta? Semua masih tanda tanya besar di tengah laju kerugian besar yang bakal diterima para pelajar ibukota. Ketakutan, kekhawatiran dan luka-luka bila terkena musibah tertimpa langit-langit, adalah beberapa kerugian fisik maupun psikis yang mungkin diderita anak sekolah. Belum lagi, efeknya ke konsentrasi belajar mereka sehari-hari.
Ada kabar dari pihak terkait di ibukota ini, anggaran yang disediakan kurang lebih 300 milliar rupiah untuk perbaikan gedung sekolah dasar dan menengah pertama yang rusak berat. Nah, sekarang semoga saja para pemangku kebijakan bisa benar-benar bijak mengalokasikan dana itu untuk segera, sekali lagi segera, memperbaiki gedung sekolah yang rusak. Satu lagi, kalau memang proses tender diadakan untuk memilih pemborong perbaikan sekolah, maka semoga saja proses berjalan sehat dan yang terpilih pun segera, sekali lagi segera, menjalankan tanggung jawab mereka dengan baik dan benar.
Segera tindak lanjuti laporan-laporan kerusakan bangunan sekolah yang ada. Jangan ada kesan di-peti es-kan seperti yang terjadi pada sekolah berstandar nasional di Cipinang. Namanya saja standar nasional, tapi kondisi bangunan standar lokal pun tak masuk. Kepala sekolah setempat mengeluhkan sudah sejak 2007 laporan kerusakan parah disampaikan, tapi sampai tahun ini belum ada tanggapan. Sementara, kepala sekolah, menurut ia, tak punya otoritas memperbaiki bangunan sekolah.
Saya jadi teringat peristiwa tahun 2003 dulu, saat kunjungan para wakil rakyat ibukota ke sejumlah sekolah. Mereka mendapati perbedaan yang mencolok antara data dan fakta di lapangan. Ada banyak bangunan sekolah yang dijadualkan untuk dipugar tahun itu, padahal tahun sebelumnya sekolah itu baru saja diperbaiki. “...catnya saja masih terlihat basah...”, ujar seorang anggota dewan.
* * *
“Maaaakkk, entong pulaaanggg...”, ujar seorang anak kecil berbaju putih bercelana merah.
“Lho kok basah (bajumu) nak...?”, tanya ibunya keheranan melihat anaknya kuyup.
“Hehehe... iya mak. Tadi pas lagi belajar (di ruang sekolah), hujan...Entong gak sempet neduh... tapi mayan mak, cuma baju dong, buku-buku Entong selamet....”
“Emangnya...?”, tanya ibunya lagi sambil mengelap rambut anaknya dengan handuk belel.
“...iya mak... temen-temen Entong bukunya basah semua kena air ujan....”
Sebuah percakapan yang mesti dientaskan di muka nusantara, apalagi di pusat negeri ini. Pusat negeri yang konon kabarnya sudah sangat maju ketimbang belahan negeri lainnya. Pusat negeri yang pembangunannya sudah mencapai titik canggih ini. Masak sih masih ada Entong-Entong yang kehilangan atap sekolah... Masak sih masih ada anak-anak sekolah yang belajar di tengah rasa was-was... bukan was-was ujian nasional, tapi was-was ketiban eternit... petra_yan/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.