26.8.10

Ketua PGI : Ibadah yang Dilakukan Siapapun, Tidak Membutuhkan Legitimasi dari Siapapun

Rakyat Indonesia saat ini masih banyak yang sulit menggelar kegiatan peribadatan menurut agama dan keyakinannya. Beribadah secara bebas di bumi pertiwi ini kian menjadi masalah bagi si penganut atau bahkan yang
bukan penganut. Indikasi terjadinya kesulitan-kesulitan menggelar peribadatan ternyata bukan hanya diakibat dari kebebasan berekspresi dalam memahami suatu keagamaan terhadap kegiatan keagamaan lain. Tapi lebih dari itu, adanya legalitas yang mendorong seseorang atau kelompok meneror kegiatan peribadahan diberbagai tempat.

Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI, Pendeta Andreas Yewangoe,  membenarkan hal tersebut dengan mengemukakan bahwa, beribadah adalah hak azasi manusia yang ditegaskan dalam konstitusi Indonesia. "Ibadah yang dilakukan siapapun, tidak membutuhkan legitimasi dari siapapun," begitu ungkapnya. Dan menurutnya, yang  membutuhkan izin adalah pembangunan rumah ibadahnya.

Menurut direktur Eksekutif Wahid Institut, Achmad Suaedy, sebenarnya pendirian rumah ibadah sudah diatur secara jelas dalam peraturan bersama  Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, khususnya nomer 8 dan nomer 9, tentang hubungan antar umat beragama. "Kalau kelompok agama yang tidak bisa memperoleh tempat ibadah maka, pemerintah daerah wajib menyediakan. "Nah masalahnya adalah, apakah pemerintah melaksanakan aturan itu apa tidak?"Demikian dAchmad Suaedy bealik bertanya.

Pemerintah memang seharusnya mampu melindungi rakyatnya yang beragama untuk menjalankan ibadahnya. jadi wajarlah bila dengan demikian banyak yang mengharapkan  adanya penegakkan hukum terhadap para peneror peribaibadahan yang dilakukan orang-orang beragama, baik itu di sebuah  rumah ibadah ataupun bukan di sebuah rumah ibadah. Kecuali pemerintah daerah atau pun juga pemerintah pusat enggan berkomitmen menjalankan UUD'45 dan Pancasila.

Seperti halnya Pendeta Andreas, Djohan Effendi, pejuang kebebasan beragama juga memiliki ppersepektif yang sama dalam memandang hak untuk beribadah. Ia mengatakan bahwa, sejak lama, konstitusi-konstitusi di Indonesia termasuk undang-undang Dasar 1945 yang diberlakukan saat ini, menampung hak azasi manusia. "Jadi tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok, sekecil apapun," demikian pejuang kebebasan keberagamaan.

Persoalan yang besar dan diredupkan oleh berbagai wacana dalam kehidupan perpolitikan negeri ini, tampaknya telah membuat keadaan negara yang kelihatannya aman-aman saja. Namun bila dilihat lebih dalam lagi, permasalahan kebebasan beribadah oleh rakyat di negeri ini masih banyak hambatan. Akbar Faisal, seorang anggota komisi III DPR RI, mengakui adanya kelompok masyarakat yang merasa benar yang kemudian mendapat pembenaran dari negara ini, untuk melakukan apa yang dipahaminya benar dalam berkeyakinan. Bahkan Akbar juga mengakui dirinya malu dengan pencitraan Islam oleh kelompok yang menyebut diri sebagai kelompok orang islam, namun melakukan kekerasan. "Sebab Islam itu sama sekali tidak keras, sama sekali kasar, dan sama sekali tidak menyakiti..." Demikian politisi dari Partai Hanura.           ath/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.