16.6.10

Monolog “Balada Sumarah”


Sekalipun belum terpuaskan menikmati isi ruangan-ruangan bangunan tua peninggalan penjajah Belanda itu, saya harus duduk manis untuk menyaksikan dimulainya sebuah acara. Acara yang sepertinya tidak formal namun bermuatan serius itu, berlangsung di sebuah tempat bernama Newseum, beralamat di jalan Veteran, Jakarta Pusat. Di ruangan bersuasana redup, tenang dan eksotik itu, Saya duduk bersama seorang dengan meja berbentu bundar dan tinggi. Niken Maria, begitu nama teman saya. Tidak banyak orang yang saya kenal di ruangan itu. padahal ruangan itupun hanya dihadiri kurang dari tiga puluh lima orang.
Kami memilih meja yang berseberangan dengan bar, duduk menghadap panggung berukuran sekitar 4x6 meter. Seseorang menuju ke sisi panggung dan menyampaikan beberapa kata sampai tiba-tiba lampu diseluruh ruangan padam.

Suasana gelap sekitar dua atau tiga detik dipecah oleh suara yang menyerupai kerikil yang ditaburkan di atas kaca. Suara itu rupanaya tanda dimulainya pementasan monolog berjudul “Balada Sumarah”. Monolog yang diperankan oleh Luna Vidya ini pernah tampil di Kota Paris, Prancis pada tahun 2008 yang lalu. Seni teater “Balada Sumarah” berkisah tentang TKW yang menghadap pengadilan negara orang, lantaran membunuh majikannya. “Balada Sumarah juga adalah kisah tentang penderitaan seorang anak PKI. Dinamika ekspresi yang diperankan Luna bagi semua tokoh dalam kisah itu, sangat mengagumkan. Sangat memperjelas kisah

Kisah yang bediperankan Luna bukan hanya memudahkan penonton mengerti alur cerita. Logat kedaerahan yang diucapkan, disesuaikan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam ceritera itu. Bahkan juga Luna beberapa kali memperjelasnya dengan ekspresi yang sesuai dengan logatnya. Tentunya saya juga tidak ingin lupa untuk mencritakan kelihaian Abdi Karya, pendamping Lina Vidya untuk mengisi music latar, yang terdiri dari berbagai perkakas dan senandung kedaerahan yang alami, sungguh membuat “Balada Sumarah” menenggelamkan penontonnya.

Kalau Luna menghadirkan pelbagai karakter tokoh dalam kisah tersebut, Abdi justeru mengadirkan banyak suasana, menurut tempat-tempat yang diceritakan dalam kisah itu. Bayangkan hanya dengan berbagai alat-alat sederhana, abdi bisa menghadirkan suasana yang menggambarkan sebuah pengadilan, ruang kelas, suasana ruang terbuka didepan sebuah mesjid, kantor lurah, sebuah toko, rumah gedongan, rumah gubuk dan tempat-empat lain yang diceritakan dalam kisah tersebut. Mengagumkan memang. Sangat mengagumkan mereka ini. Malam itu, “Balada Sumarah” membawa penontonnya merenungkan kembali keberadaan mereka yang termarjinalkan. Termajinalkan karena alam, kekuasaan, perbedaan, pemikiran didikan, bahkan keimanan.

Itulah sebagian kisah tersisa malam itu, dari sebuah gedung tua yang sangat terawatt dan meninggalkan banyak sejarah pemberitaan di Jakarta. Acara utama penyelenggaraan malam itu sebenarnya adalah bincang santai teman-teman dari PENJUNAN (Penulis dan Jurnalis Nasrani) yang mengusung tema “Baca, Jadilah Bijak! Tulis, Jadilah Berkat”. Sabuah acara yang ingin membangkitkan semangat baca dan semangat menulis dari kalngan masyarakat Kristen bagi Indonesia, melalui beberapa rangkaian kegiatan yang rencananya akan berakhir dalam sebuah kegiatan pemecahan rekor MURI, di bulan November tahun ini.     ath/konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.