Tanggal 3 Juli yang lalu, beberapa media memberitakan tentang sejumlah dokter dan ilmuwan yang dieksekusi tentara Jepang, lantaran dituduh melakukan melakukan sabotase, setelah 1000 orang romusha di daerah Klender, Jakarta, meninggal seusai diberikan vaksin TCD atau Typhus Cholera Dysentery. Peristiwa yang terjadi tahun 1944, di masa pendudukan Jepang itu, diperingati bagi Direktur Lembaga Eijkman di Indonesia yang pertama, Prof. Dr. Achmad Mochtar meminta para peneliti dibebaskan dengan menggantikan dirinya untuk dieksekusi pada 3 Juli 1945.
Tanggal 3 Juli 2010 ini adalah 65 tahun wafatnya Prof. Dr. Achmad Mochtar, dan Lembaga Biologi Molekul Eijkman melakukan renungan di makam sang profesor, di Pemakaman Ereveld, Kawasan Ancol, Jakarta, pada hari sabtu lalu tanggal 3 Juli 2010. Acara renungan yang bertajuk 'Dawn Memorial Service of Prof. Dr. Achmad Mochtar' ini menjadi istimewa, karena dua ilmuwan Eijkman Prof Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird, yang bulan lalu berhasil mengungkapkan makam sang profesor hadir juga.Awalnya memang, keberadaan makan Prof. Dr. Achmad Mochtar tidak diketahu letaknya. Catatan seorang petugas militer Jepang, Prof Achmad Mochtar dieksekusi pada tanggal 3 Juli 1945 dan jasadnya dikuburkan secara massal bersama dokter lain yang tewas di dalam tahanan. Dan menurut Sangkot dan Baird, seorang asisten Achmad Mochtar yang bernama Ali Hanafiah telah menemukan makam tersebut pada akhir tahun 1976. Ia meninggalkan catatan dalam sebuah memoar pada tahun 1977, namun catatan terebut hanya diketahui oleh keluarganya sendiri. Informasi mengenai makam tersebut justru ditemukan oleh Sangkot dan Kevin dalam arsip milik Institut Dokumentasi Perang yang ada di Amsterdam.
Dan pada tanggal 10 Juni 2010 keduanya mendatangi makam Evereld, pada sebuah pemakaman Belanda di kawasan Ancol, Jakarta. Dan mengikuti lokasi yang ditunjukkan Institut Dokumentasi Perang, nama Mochtar ternyata tidak ditemukan. Baru setelah dicek satu persatu, Sangkot dan Kevin menemukan nama Mochtar di lokasi lain di dalam pemakaman tersebut. Sangkot menyatakan sumber dari Amsterdam itu tidak akurat. Sebab itu ia lebih meyakini catatan Ali Hanafiah di tahun 1966. Tidak hanya menemukan lokasi makam, Sangkot dan Kevin juga berhasil mengumpulkan beberapa keturunan Prof Achmad Mochtar. Dua cucu perempuan Mochtar, yakni Moniq dan Jolanda yang tinggal di Belanda yang juga hadir dalam acara renungan yang baru pertama digelar di makam tersebut. ath/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.