Oleh : Pnt. Argopandoyo
Sambil menunggu isteri yang menghadiri rapat sebuah organisasi pemerhati buku anak-anak, saya memanfaatkan waktu menyelesaikan pekerjaan tulis menulis di sebuah pusat jualan makanan. Pusat jualan makanan itu terletak di sebuah mal di Jakarta Selatan, yang letaknya satu kompleks dengan tempat dimana isteri tercinta mengikuti rapat.
Sebelum duduk, tentunya saya memesan makanan terlebih dahulu, agar dipandang pantas berada di pusat makanan tersebut. Berbagai pilihan tersaji di banyak los dagangan pada tempat itu. Yah, tentu saya mencari yang praktis dan sehat, misalnya, makanan tradisional Indonesia yang langsung saya pesan. Dan benar saja jarak waktunya tidak berjangka lama, yang kemudian dengan menenteng makanan yang saya beli saya bisa leluasa duduk di areal itu.
Sambil mengunyah sedikit demi sedikit saya membuka komputer saya lalu mulai menulis pekerjaan rumah. Selagi asik mengetik dan memikirkan pekerjaan sambilan itu, tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang bapak dengan tiga orang anak yang melintas didepan meja, tempat saya duduk. Sejujurnya tidak ada yang spesial buat gerombolan itu karena memang pola laku dan sikap mereka selayaknya kebanyakan pengunjung. Tapi terus terang sempat saya bertanya sejenak, kenapa tidak ada seorang ibu ya? ah mungkin saja mereka bukan rombongan keluarga. Demikian sejenak terlintas di dalam pikiran saya. Tapi lagi lagi itu cuma sejenak karena, toh memang ada yang membuat saya tertegun dengan kecekatan dan kecepatan seorang bapak itu.
Bapak yang berparas lembut itu memilih meja dan meminta anak-anak yang bersamanya itu duduk. Tidak beberapa lama saya membuka komputer sambil mencimiti makanan saya tadi, melintas sebatas pandang saya seorang bapak dengan tiga orang anak yang kalau boleh saya tebak, berkisar usia empat tahun, enam tahun dan delapan tahun. Gerak-gerik bapak dan anak-anak yang tempat duduknya berjarak sekitar dua meja dari tempat saya duduk, benar-benar mencuri perhatian saya. Kalau saya coba gambarkan, gerak geriknya bapak tadi, sambil berdiri tangannya menelungkupi meja dan berbicara sesuatu kepada tiga anak-anak yang terdiri dari dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Setelah berbicara, sang bapak langsung meninggalkan tiga anak itu, Sementara bapak tadi meninggalkan meja tiga anak itu tetap duduk dengan manis dan rapih, menghadap meja bundar diatas kursi masing-masing. Sekian lama pergi, akhirnya si bapak berparas lembut tadi muncul dengan membawa empat botol minuman, yang terdiri dari dua botol teh dalam kemasan plastik dan dua air mineral yang juga dalam kemasan botol plastik.
Menyambut bapak berparas lembut tadi, ketiga anak serempak menatap botol-botol di tangan bapak itu yang kemudian diletakan di tengah meja berbentuk bundar itu. Ketiga anak itu membantu meletakan empat botol tadi. Kemudian sambil menatap yang dilakukan anak-anak itu, si bapak berparas lembut tadi melangkah menuju sebuah los penjual makanan. Pastinya si bapak memesan makanan, sementara tiga anak tadi masih duduk manis sambil berbincang satu sama lain. Dari gerak gerik yang dilakukan mereka, sekalipun tidak tahu isi perbincangannya kita bisa memastikan bahwa mereka saling bercerita. Tidak lama kemudian bapak berparas lembut tadi datang dan langsung duduk di bangku kosong menghadap meja yang sama.
Ia mengulurkan tangan mengusap-usap anak laki-laki yang lebih muda, sambil berucap pada anak laki-laki yang lebih besar diantara ketiga anak itu dengan senyum. Dan sambil terus berucap dengan senyum, si bapak tadi mengulurkan kedua tangannya seolah siap menggendong anak perempuan yang tampaknya paling kecil dibanding tiga anak itu. Tiba-tiba, telepon genggam saya berdering dan merusak fokus saya kepada mereka. Perbincanagn melalui telepon dengan teman, sekitar lima menitan itu benar-benar membuyarkan fokus saya, sampai-sampai tidak memperhatikan beranjaknya mereka dari meja mereka. Namun kelembutan wajah seorang bapak itu sungguh mempengaruhi saya hari itu. Kelembutan wajah yang didukung perangai melindungi dan memberi kenyamanan, ternyata menciptakan kedisiplinan bagi anak-anaknya.
Sebelum duduk, tentunya saya memesan makanan terlebih dahulu, agar dipandang pantas berada di pusat makanan tersebut. Berbagai pilihan tersaji di banyak los dagangan pada tempat itu. Yah, tentu saya mencari yang praktis dan sehat, misalnya, makanan tradisional Indonesia yang langsung saya pesan. Dan benar saja jarak waktunya tidak berjangka lama, yang kemudian dengan menenteng makanan yang saya beli saya bisa leluasa duduk di areal itu.
Sambil mengunyah sedikit demi sedikit saya membuka komputer saya lalu mulai menulis pekerjaan rumah. Selagi asik mengetik dan memikirkan pekerjaan sambilan itu, tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang bapak dengan tiga orang anak yang melintas didepan meja, tempat saya duduk. Sejujurnya tidak ada yang spesial buat gerombolan itu karena memang pola laku dan sikap mereka selayaknya kebanyakan pengunjung. Tapi terus terang sempat saya bertanya sejenak, kenapa tidak ada seorang ibu ya? ah mungkin saja mereka bukan rombongan keluarga. Demikian sejenak terlintas di dalam pikiran saya. Tapi lagi lagi itu cuma sejenak karena, toh memang ada yang membuat saya tertegun dengan kecekatan dan kecepatan seorang bapak itu.
Bapak yang berparas lembut itu memilih meja dan meminta anak-anak yang bersamanya itu duduk. Tidak beberapa lama saya membuka komputer sambil mencimiti makanan saya tadi, melintas sebatas pandang saya seorang bapak dengan tiga orang anak yang kalau boleh saya tebak, berkisar usia empat tahun, enam tahun dan delapan tahun. Gerak-gerik bapak dan anak-anak yang tempat duduknya berjarak sekitar dua meja dari tempat saya duduk, benar-benar mencuri perhatian saya. Kalau saya coba gambarkan, gerak geriknya bapak tadi, sambil berdiri tangannya menelungkupi meja dan berbicara sesuatu kepada tiga anak-anak yang terdiri dari dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Setelah berbicara, sang bapak langsung meninggalkan tiga anak itu, Sementara bapak tadi meninggalkan meja tiga anak itu tetap duduk dengan manis dan rapih, menghadap meja bundar diatas kursi masing-masing. Sekian lama pergi, akhirnya si bapak berparas lembut tadi muncul dengan membawa empat botol minuman, yang terdiri dari dua botol teh dalam kemasan plastik dan dua air mineral yang juga dalam kemasan botol plastik.
Menyambut bapak berparas lembut tadi, ketiga anak serempak menatap botol-botol di tangan bapak itu yang kemudian diletakan di tengah meja berbentuk bundar itu. Ketiga anak itu membantu meletakan empat botol tadi. Kemudian sambil menatap yang dilakukan anak-anak itu, si bapak berparas lembut tadi melangkah menuju sebuah los penjual makanan. Pastinya si bapak memesan makanan, sementara tiga anak tadi masih duduk manis sambil berbincang satu sama lain. Dari gerak gerik yang dilakukan mereka, sekalipun tidak tahu isi perbincangannya kita bisa memastikan bahwa mereka saling bercerita. Tidak lama kemudian bapak berparas lembut tadi datang dan langsung duduk di bangku kosong menghadap meja yang sama.
Ia mengulurkan tangan mengusap-usap anak laki-laki yang lebih muda, sambil berucap pada anak laki-laki yang lebih besar diantara ketiga anak itu dengan senyum. Dan sambil terus berucap dengan senyum, si bapak tadi mengulurkan kedua tangannya seolah siap menggendong anak perempuan yang tampaknya paling kecil dibanding tiga anak itu. Tiba-tiba, telepon genggam saya berdering dan merusak fokus saya kepada mereka. Perbincanagn melalui telepon dengan teman, sekitar lima menitan itu benar-benar membuyarkan fokus saya, sampai-sampai tidak memperhatikan beranjaknya mereka dari meja mereka. Namun kelembutan wajah seorang bapak itu sungguh mempengaruhi saya hari itu. Kelembutan wajah yang didukung perangai melindungi dan memberi kenyamanan, ternyata menciptakan kedisiplinan bagi anak-anaknya.
Tanpa banyak perintah, tanpa banyak kata, tapi banyak berbuat, ternyata tidak hanya membuat seorang bapak menjadi seorang bapak yang mengayomi dan menyamankan anak-anaknya. Tapi lebih dari itu, bisa mendisiplinkan anak-anaknya yang sekaligus menjadi bapak yang sulit ditemukan pada bapak-bapak yang seharusnya mampu mengayomi dan memberi kenyamanan bagi anak-anak di negeri ini. Bukan berarti kita harus menaruh harap pada bapak selain yang ada di Sorga. ath/konstantin
* Maaf. illustrasi dari sumber yang tidak diketahui
* Maaf. illustrasi dari sumber yang tidak diketahui
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.