Bulan Agustus ini, kita akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan negeri kita pada tanggal 17 Agustus. Dan mengikuti keberadaan tanggal 17 Agustus, ada tanggal 18 Agustus, yang juga adalah hari Konstitusi Nasional. Nah bila kita mengingat tentang Konstitusi negara ini, yaitu UUD 1945, yang sempat menghilang dan pada tanggal 5 Juli 1959, diberlakukan kembali hingga sekarang ini. Tanggal 5 Juli tersebut kita mengenangnya sebagai Dekrit Presiden 5 Juli '59. Dekrit 5 Juli adalah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia. Karena sadar atau tidak situasi transisi politik dunia saat itu, khususnya di eropa barat sedang berusaha menghapus citra sebagai bangsa Imprialis.
Cara memperbaiki citra itu, para pemimpin bangsa eropa memunculkan atau mencuatkan apa yang mereka sebut dengan Perang Dingin. Program perang dingin Eropa Timur dan Eropa Barat, antara Faham Kapitalisme dengan Faham Komunisme. Efek politik perang dingin itu sebenarnya juga mempengaruhi Indonesia dalam perpolitikan di dalam negara yang masih relatif baru tersebut. Hanya saja, pada suatu kenyataan bahwa, imprialisme baru dalam berbentuk pengaruh mempengaruhi faham dari dua kutub itu tidak mampu memperdaya persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat dengan kemandirian. Dekrit 5 Juli adalah kuatnya kemandirian bangsa yang perduli untuk mempersatukan perbedaan yang ada sampai saat ini. Para pemimpin Indonesia berhasil melewati proses revolusi konstitusi tanpa kemarahan dan pertumpahan darah. Bila kita bersuka cita karena kemerdekaanyang Tuhan berikan, sudah selayaknya kita juga bersuka cita akan Konstitusi yang kita berikan.
Kembalinya UUD'45 melalui Dekrit 5 Juli 59, kita juga mengenang inisiatif Presiden Sukarno dukungan militer dan rakyat yang menjaganya, untuk membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 59 didepan Istana Merdeka, Jakarta. Dekrit itu memaklumatkan pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum tahun 1955, dan menetapkan penggantian undang-undang dasar negara yang berlaku saat itu yaitru Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 atau UUDS '50, dengan UUDasar '45. Jauh sebelumnya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950 yang dikeluarkan Sidang DPR Republik Indonesia Serikat, tanggal 14 Agustus 1950 adalah Tentang Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUDS RIS, yang menetapkan UUDS '50. Kata "sementara" dalam kalimat “Undang-undang Dasar Sementara”, menunjuk tegas keberadaan konstitusi yang bersifat sementara. Dan sebagai catatan, keberadaan UUDS '50 dapat diubah atau diganti lewat mekanisme terpilihnya para Anggota Badan Konstituante melalui pemilihan umum. Maka setelah bergulir selama 5 tahun, Pemilu Indonesia di tahun 1955 berhasil memilih Anggota Badan Konstituante, yang harus menghasilkan rumusan, sekaligus menetapkan konstitusi baru.
Sesuai dengan UUDS '50 Indonesia saat itu Presiden RIS Ir. Sukarno sebagai kepala negara sedangkan Ir. Djuanda Kartawidjaja adalah Perdana Menteri, yaitu kepala pemerintahan RIS. Dan saat itu Ir Sukarno sebagai kepala negara mengambil inisiatif atas kebuntuan Badan Konstituante, yang mengalami kegagalan pencapaian kesepakatan persetujuan konstitusi baru. Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Sukarno menyampaikan amanat di depan sidang konstituante yang menganjurkan pemberlakuan kembali UUD '45. Namun ternyata tidak semudah seperti yang diceritakan dalam buku sejarah di sekolah. Proses penetapan yang melelahkan itu sangat diakibatkan kepentingan kelompok yang begitu tinggi. Akhirnya tanggal 30 Mei 1959, Badan Konstituante melaksanakan pemungutan suara, yang menurut Peneliti dan Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam, saat itu Badan Konstituante berkewajiban untuk memilih Azas Pancasila sebagai dasar negara, yang mendukung Islam sebagai dasar negara lalu pihak ketiga yang lebih kecil, yaitu MURBA yang mendukung ideologi Sosioecinomic. Hasil pemilihan itu mencatat 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 memilih Piagam Djakarta 22 Juni 1945 dan 32 suara Sosioeconomi. Ini berarti seluruh pilihan tidak mencapai dua per tiga dari jumlah keseluruhan Anggota Badan Konstituante. Dan tentunya, pemilihan tersebut harus diulang, demi hukum yang berlaku saat itu.
Pemungutan suara dilakukan kembali tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Namun hal serupa terjadi hingga pemberlakukan masa reses yang berkepanjangan. Konon masa reses berkepanjangan membuat sebagian besar Anggota Konstituante enggan mengikuti sidang pembahasan Konstituante pengganti. Dan kondisi ini tertuang dalam pengantar dekrit sekaligus sebagai acuan ketidak mampuan Badan Konstituante mengemban amanat rakyat. Kondisi ini menurut naskah Pengantar Dekrit 5 Juli 1959, dapat menimbulkan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan nusa dan bangsa. Maka pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB, Dekrit Presiden dikeluarkan. Dekrit yang tidak konstitusional ini dibacakan Presiden Sukarno yang secara nyata mendapat dukungan rakyat. Dekrit yang dikeluarkan Sukarno, bukan hanya sebagai Presiden Republik Indonesia namun juga sebagai Panglima tertinggi Angkatan Perang untuk menetapkan pembubaran Konstituante, yaitu pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-angota Dewan Perwakilan Rakyat serta Utusan-utusan daerah dan Utusan-utusan Golongan, juga pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, dalam waktu yang sesingkatnya. Dukungan Militer dan kaum proletarian, memuluskan Dekrit yang langsung memenangkan Undang-undang Dasar 1945 pada detik itu juga, sebagai Undang-undang Dasar yang sah untuk Republik Indonesia. ath/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.