15.7.10

Seri Pendidikan untuk Semua : Sulitnya Anak Miskin Sekolah

oleh : Yan Piris
 
“...(tolong) diberikan kemudahan masuk sekolah negeri, karena sekolah swasta kita harus dengan biaya yang mahal...”

Demikian Ibu Halimah, orang tua murid dari Kramat Jati, Jakarta Timur. Anaknya lulusan SD hendak melanjutkan ke jenjang SMP, tapi terbentur biaya. Menurut Ibu Halimah, dari sejumlah sekolah yang ia kunjungi bersama

anaknya, biaya menjadi momok nomor satu (padahal sekolah itu sekolah negeri). Kisah Ibu Halimah dan anaknya itu merupakan satu dari sekian banyak kisah memprihatinkan dari jutaan kaum miskin di Jakarta. Biaya pendidikan yang kian melambung tiap tahun ajaran tiba, membuat si miskin semakin sulit berangan-angan menjadi terdidik secara formal.
Apalagi saat ini strata sekolah sudah beragam, mulai dari sekolah 'biasa', sekolah bertaraf nasional (SBN), dan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Kedua ragam sekolah yang terakhir disebut tadi adalah tempat transaksi tertinggi di dunia pendidikan. Atas nama sebuah taraf (nasional maupun internasional), pihak sekolah melambungkan biaya masuk sekolah hingga 10 jutaan. Ketika seorang pengajar di sekolah bertaraf nasional yang tidak mau disebut namanya ditanya mengenai perbedaan ragam tersebut, ia hanya berucap, “Yang bertaraf nasional lebih baik (pendidikannya) daripada yang biasa... apalagi yang internasional.. canggih...”

Menurut Koordinator Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan, hal tersebut merupakan diskriminasi yang dilakukan negara dalam dunia pendidikan. Bahkan, masih menurut Tigor, RSBI yang sebenarnya kepanjangan dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, oleh pengacara publik itu dipanjangkan menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Secara tidak langsung, menurut pria berkepala plontos itu, pemerintah menegaskan pendidikan yang baik itu mahal harganya. Lalu pertanyaannya, anak-anak kaum miskin bisa sekolah dimana?

Lebih lanjut, Azas mengungkap bahwa bangku sekolah di Jakarta semakin susah diraih oleh warga miskin kota. Secara umum, ia menuding pemerintah masih belum bisa berlaku adil dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang baik di negeri ini, menurut Azas Tigor, masih dimiliki oleh anak-anak dari kalangan berduit. Bila dilihat dari fasilitas di sekolah-sekolah yang ada, kita bakal bisa membaca: ADA UANG, ADA FASILITAS; PENDIDIKAN MAHAL, PENDIDIKAN TERBAIK
* * *
FAKTA menyebut masih banyak anak orang miskin yang urung masuk sekolah karena terjegal masalah biaya hingga puluhan juta rupiah. Ini tragis karena banyak anak-anak itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Lain lagi yang dialami Ibu Santi dari Petukangan Selatan. Anaknya dan juga sejumlah anak lainnya, sempat masuk ke sebuah sekolah negeri. Tapi, rasanya anak mereka terancam sulit menikmati pendidikan dengan baik karena masalah biaya. Salah satunya adalah masalah biaya ini dan biaya itu yang cenderung memberatkan. Biasanya, biaya-biaya 'tambahan' itu dimunculkan setelah anak-anak bersekolah 3 bulan. Hal ini menyebabkan para orang tua miskin 'terpaksa' mengangguk kepala dengan lesu tanda setuju. Mereka pikir, “Ya daripada anak saya dikeluarkan (tidak sekolah)...”

Ya, kenyataan yang memprihatinkan adalah ada orang tua yang merasa tertekan karena dikatakan anaknya bisa dikeluarkan dari sekolah karena tidak membayar biaya-biaya tambahan tersebut. Akhirnya dengan sangat terpaksa berusaha keras mencari dana tambahan supaya anaknya bisa tetap sekolah. Menanggapi masalah itu, Penanggung Jawab Bantuan Operasional Sekolah Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Budi Sulistyo menegaskan pihak sekolah dilarang mempersulit anak didik dengan alasan biaya. Bahkan, Dinas Pendidikan mengancam akan memutasi para oknum pihak sekolah yang mengeluarkan anak didik dari sekolah karena masalah biaya. Namun Budi Sulistyo mengaku kebijakan tersebut belum banyak dilaksanakan pihak sekolah yang ada. Alhasil masih banyak saja anak miskin yang kesulitan mencicipi asam garam dunia pendidikan di ibukota. Ini ironis, karena jelas, di pasal 31  UUD 1945 perubahan keempat disebut:
(1)Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(2)Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

Kalau sudah begini, apakah negara (pemerintah) bisa disebut melanggar UUD? Wallahu a’lam
konstantin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.