Oleh : Pnt. Argopandoyo
Dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, intelektualitas seolah menjadi modal mejanjikan khususnya untuk menggapai posisi karir yang lebih layak dari yang ada pada kita. Hal ini tentunya akan sangat menjamin pengakuan sebagai eksistensi kita. Citra keintelektualan seseorang, secara wam akan terus bersanding dengan personal yang pintar dan pastinya bukan orang bodoh. Tak seorangpun ingin dianggap bodoh, bahkan seorang bodohpun tidak ingin dikatakan sebagai orang bodoh. Sekalipun ada, orang yang mengaku dirinya bodoh pasti hanya bertujuan merendah. Namun pada keseharian tak seorangpun ingin dianggap ataupun tampak bodoh.
Di lingkungan rumah, orang yang membiarkan dirinya bodoh, tentunya kan menjadi orang yang dilecehkan. Bahkan di lingkungan kerja, bukan hanya akan menjadi bulan-bulanan tapi lebih dari itu akan sulit diberi kepercayaan untuk pekerjaan penting, atau bahkan sama sekali tidak diberdayakan. Secara jujur, kebodohan dapat dirasa masing-masing pribadi dalam satu masa. Saat rasa bodoh datang, dorongan enggan melakukan segala sesuatu sangat kuat sekalipun begitu besar kesempatan perubahan, didepan mata. Keengganan itu tentu terdorong dari rasa tak berguna, atau tidak layak untuk melakukan suatu hal.
Bukan hal baru dalam berbagai cerita keledai selalu dijadikan binatang yang mewakili pribadi yang bodoh. Binatang yang bentuknya menyerupai kuda berukuran lebih kecil ini, dalam pelbagai film-film hiburan digambarkan sebagai binatang kuat namun dungu atau bodoh. Sekalipun memang tidak semua memperlihatkan keledai sebagai Si Bodoh tapi, secara umum bila kita melakukan kesalahan berulang-ulang maka, kita akan diingatkan dengan ungkapan; “Keledai pun tidak ingin masuk ke lubang untuk kedua kalinya.” Dan ungkapan ini merujuk bahwa, makhluk ter-bodohpun enggan melakukan kesalahan berulang.
Pada kisah seputar Hari Raya Roti Tak Beragi Umat Yahudi, saya tertarik dengan seekor keledai yang ditunggangi Yesus saat memasuki Kota Yerusalem. Kisah itu diawali dengan keledai muda yang tertambat, yang ditemui murid-murid Tuhan Yesus. Dalam Alkitab, sebelumnya Yesus telah memerintahkan demikian : “Pergilah ke kampung yang di depanmu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawa kemari. Keledai muda yang tertambat itu dilepaskan murid-muridNya, untuk dijadikan kendaraanNya memasuki memasuki Kota Yerusalem.
Saat menunggangi keledai di Kota Yerusalem, Yesus disambut seperti seorang Raja. Ini sangat menarik, karena Yesus tidak memilih seekor kuda untuk memasuki Kota Yerusalem, bak seorang ksatria. Tapi seekor keledai yang terkenal bodoh, justeru dipercaya untuk mengusung diri Nya. Tampaknya ada pesan yang. Seringkali kita merasa tidak berguna karena beberapa orang mengatakan bahwa kita bodoh. Atau sering kita memandang orang lain begitu bodoh. Namun jarang sekali kita mengingat bahwa apa yang bodoh bagi kita, belum tentu kebodohan bagi Allah. Bila ada rasa bodoh seperti apapun saat ini, ingatlah Tuhan sangat membutuhkan kita yang dianggap bodoh, untuk menopangnya memasuki Kota Yerusalem. ath/konstantin
Di lingkungan rumah, orang yang membiarkan dirinya bodoh, tentunya kan menjadi orang yang dilecehkan. Bahkan di lingkungan kerja, bukan hanya akan menjadi bulan-bulanan tapi lebih dari itu akan sulit diberi kepercayaan untuk pekerjaan penting, atau bahkan sama sekali tidak diberdayakan. Secara jujur, kebodohan dapat dirasa masing-masing pribadi dalam satu masa. Saat rasa bodoh datang, dorongan enggan melakukan segala sesuatu sangat kuat sekalipun begitu besar kesempatan perubahan, didepan mata. Keengganan itu tentu terdorong dari rasa tak berguna, atau tidak layak untuk melakukan suatu hal.
Bukan hal baru dalam berbagai cerita keledai selalu dijadikan binatang yang mewakili pribadi yang bodoh. Binatang yang bentuknya menyerupai kuda berukuran lebih kecil ini, dalam pelbagai film-film hiburan digambarkan sebagai binatang kuat namun dungu atau bodoh. Sekalipun memang tidak semua memperlihatkan keledai sebagai Si Bodoh tapi, secara umum bila kita melakukan kesalahan berulang-ulang maka, kita akan diingatkan dengan ungkapan; “Keledai pun tidak ingin masuk ke lubang untuk kedua kalinya.” Dan ungkapan ini merujuk bahwa, makhluk ter-bodohpun enggan melakukan kesalahan berulang.
Pada kisah seputar Hari Raya Roti Tak Beragi Umat Yahudi, saya tertarik dengan seekor keledai yang ditunggangi Yesus saat memasuki Kota Yerusalem. Kisah itu diawali dengan keledai muda yang tertambat, yang ditemui murid-murid Tuhan Yesus. Dalam Alkitab, sebelumnya Yesus telah memerintahkan demikian : “Pergilah ke kampung yang di depanmu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawa kemari. Keledai muda yang tertambat itu dilepaskan murid-muridNya, untuk dijadikan kendaraanNya memasuki memasuki Kota Yerusalem.
Saat menunggangi keledai di Kota Yerusalem, Yesus disambut seperti seorang Raja. Ini sangat menarik, karena Yesus tidak memilih seekor kuda untuk memasuki Kota Yerusalem, bak seorang ksatria. Tapi seekor keledai yang terkenal bodoh, justeru dipercaya untuk mengusung diri Nya. Tampaknya ada pesan yang. Seringkali kita merasa tidak berguna karena beberapa orang mengatakan bahwa kita bodoh. Atau sering kita memandang orang lain begitu bodoh. Namun jarang sekali kita mengingat bahwa apa yang bodoh bagi kita, belum tentu kebodohan bagi Allah. Bila ada rasa bodoh seperti apapun saat ini, ingatlah Tuhan sangat membutuhkan kita yang dianggap bodoh, untuk menopangnya memasuki Kota Yerusalem. ath/konstantin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.